PENDAHULUAN
Tujuan utama mempelajari serangga ialah memahami
hubungan yang terjalin antara serangga dan manusia. Pemahaman ini mengandung
kepentingan yang besar, karena kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat
dilepaskan dari dunia serangga. Tata laksana ini terbina dalam ilmu yang
disebut entomologi. Kata
“entomologi” berasal dari Bahasa Yunani entomologia yang dapat diuraikan
menjadi entomon (= serangga) dan logos (= pembicaraan). Entomologi sebagai ilmu
terus-menerus berkembang dari sekadar pengenalan sederhana menjadi ilmu yang
sangat kompleks, selaras kebudayaan manusia, yang terus-menerus meluas, karena
hubungan manusia dengan serangga yang makin kompleks.
Perhatian manusia terhadap serangga
telah diberikan sejak ribuan tahun yang lalu. Bangsa Mesir Kuno menghubungkan
serangga dengan aspek kehidupan keseharian mereka, seperti pertanian. Serangan
belalang terhadap tanaman pertanian telah dilaporkan selama pemerintahan Ramses
II, 1.400 tahun sebelum Masehi. Serangga juga pernah dihubungkan dengan
kenegaraan, misalnya digunakannya tawon endas (Vespa orientalis) sebagai
lambang negara Mesir Bawah pada tahun 3100 sebelum Masehi, dan bahkan
“ketuhanan”, serta aspek sosial lainnya. Penggunaan kumbang “skarab” sebagai
lambang Dewa Matahari Khephri atau Khepera yang disembah, merupakan hal yang
tak asing dalam kebudayaan Mesir Kuno. Di Yunani, orang Ephesus (sekarang
bagian dari Turki) menggunakan gambar tawon untuk menandai uang logam yang
beredar pada tahun 400-an sebelum Masehi (Sheedy, 2005). Kitab Injil juga
menyebutkan peran berbagai kehidupan serangga dalam kehidupan manusia. Di dalam
Injil Matius (Matius 3:4) ditulis bahwa makanan Yohanes Pembaptis berupa
belalang dan madu hutan. Kitab Al Quran (Sura 16) memuat uraian tentang lebah
madu. Orang Indian Kuno di Amerika Selatan menggunakan serangga, khususnya
kupu-kupu, sebagai inspirasi karya seninya, misalnya untuk motif sulaman dan
kerajinan keramik, sedangkan Indian modern menggunakan juga serangga sebagai
lambang (Diaz, 2005).
Di Indonesia sendiri tidak ada catatan
mengenai waktu pertama kali orang memperhatikan benar-benar hubungan manusia
dengan serangga. Kekurangan ini bukan berarti bahwa manusia Indonesia pada
waktu-waktu yang lalu tidak memperhatikan serangga. Tembang dan sindiran yang
berkait dengan perangai atau ciri serangga menandakan telah adanya pengamatan
manusia Indonesia terhadap ciri dan peri laku serangga. Sayangnya, pengetahuan
ini tidak terdokumentasi dalam tulisan.
Walaupun entomologi telah berumur ribuan
tahun, masih tersembunyi timbunan salawadi (mysteries) yang belum terungkap,
yang telah memacu manusia untuk meningkatkan usahanya dalam menelusuri
liku-liku salawadi dalam dunia serangga. Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, entomologi juga mendapat sentuhan kemajuan untuk mengimbangi kemajuan
ilmu pada umumnya. Seiring pula perkembangan di zaman pembaharuan “renaissance”
– pada bagian kedua zaman ini (tahun 1000-1500) – terbawa pula penjelajahan
manusia ke dalam dunia serangga untuk menumbuhkan entomologi menjadi ilmu yang
makin mantap, sehingga kegunaan entomologi dapat ditingkatkan untuk
kesejahteraan manusia.
Manfaat entomologi untuk manusia
berhubungan dengan hidup sejahtera, yaitu hidup sehat, tercukupi segala
kebutuhannya, serta terjamin keamanannya. Sebagian besar komponen kesejahteraan
tersebut ditentukan entomologi. Dalam bidang kesehatan, entomologi telah
membantu manusia mengatasi masalah penyakit yang ditularkan serangga, seperti
malaria, demam berdarah, chikukunguya, kaki gajah, kebutaan dan penyakit tidur.
Entomologi terbukti pula dapat didayagunakan dalam penyediaan pangan dan bahan
industri, misalnya sutera, lak, malam, madu, dan bahkan tubuh serangga sendiri.
Di sektor lain, pengetahuan terhadap kehidupan serangga juga telah menunjukkan
bantuannya. Perang terhadap hama dapat dimenangkan oleh manusia berkat telah
ditelusurinya liku-liku jalan hidup serangga.
Kini telah lebih banyak pelik-pelik
serangga yang mulai diketahui dan dipecahkan. Perangainya, cara memeliharanya,
kelemahannya, hasil yang dapat dimanfaatkan manusia, dan hal-hal lainnya makin
terungkap. Makin lama makin dapat dibedakan serangga yang “merugikan” dengan
serangga yang “menguntungkan”. Makin lama makin tegas pula tindakan yang
dilakukan terhadap kedua golongan serangga tersebut. Terhadap yang merugikan
diusahakan tindakan untuk mengendalikannya, sedangkan kepada yang menguntungkan
disediakan tempat terhormat serta usaha untuk melestarikannya. Ada timbal
baliknya, yaitu bahwa semua tindakan tersebut juga mendorong kemajuan di bidang
entomologi sendiri. Begitulah seterusnya, sehingga pengenalan terhadap dunia
serangga makin meningkat, dan perlakuan terhadap serangga makin tepat.
A.
Entomologi
di Indonesia
Di negeri kita, hubungan manusia dengan serangga ini
telah lama disadari, sejak dongeng rakyat dan perumpamaan mulai diceritakan
turun-temurun dari mulut ke mulut. Cerita yang juga berbentuk tembang telah
mengungkapkan ciri atau peri laku serangga tertentu, tetapi pengetahuan
tersebut masih dalam bentuk semu dan samar-samar, belum terwujud sebagai ilmu.
Pada awalnya, entomologi datang ke
Indonesia hanya sebagai “tamu”. Ilmu ini masuk ke dan keluar dari Indonesia
tanpa meninggalkan bekas karena tidak ada sarana atau perangkat yang tersedia
untuk menerimanya. Begitu tamu kembali ke tempat asalnya, kembali pulalah ilmu itu
dan meninggalkan Indonesia. Keadaan ini terus berlangsung sampai para ilmuwan
tamu itu menyadari benar perlunya menumbuhkan entomologi di Indonesia sendiri.
Gagasan ini tidak muncul seketika, tetapi memerlukan akumulasi yang akhirnya
tercetus menjadi kenyataan, ketika pada akhir abad ke-19, tahun 1894, didirikan
laboratorium serangga di Bogor. Waktu inilah titik awal diresmikannya
penumbuhan entomologi di Indonesia.
Dari awal tersebut mulailah entomologi
merayap di bumi Indonesia menelusuri jalan perkembangan yang tidak luput dari
pasang dan surut. Pada tahap permulaan, ruang lingkup entomologi ini masih
sangat terbatas, yang tidak lain adalah pengenalan dan pergaulan dengan hama.
Terdorong kebutuhan mengenal nama jenis hama, entomologi berkembang menjadi
taksonomi alfa1, terbatas pada
pengenalan dan pemberian nama serangga.
Tahap awal taksonomi ini di Indonesia
tidak pernah berkembang lebih lanjut. Sumber daya pendukungnya, ditambah
kebutuhan terhadap entomologi yang terpusatkan pada penanganan hama setempat
dan prestise dunia, membatasi entomologi pada lingkup yang sempit. Sedikit
perkembangan terjadi bersama kegiatan Alfred Russel Wallace. Pada masa
1837-1879, A.R.Wallace melakukan kegiatan penjelajahan di Sulawesi Utara dan
sekitarnya, untuk mengungkapkan peran dan kedudukan takson serta hubungannya
dengan daerah sebarannya. Perkembangan ini tidak dapat berlanjut karena
pengetahuan biologi secara umum yang menjadi kaitan perkembangan entomologi
tersebut belum dimiliki oleh peneliti entomologi di Indonesia pada waktu itu.
Corak entomologi di Indonesia tetap merupakan taksonomi klasik terbatas pada
identifikasi nama ilmiah.
Keadaan demikian tidak statis, masih ada
sentuhan perkembangan. Segi-segi lain juga berkembang, didorong kebutuhan yang
harus dipenuhi pada waktu itu. Entomologi yang berkaitan dengan penyakit daerah
tropika, seperti malaria dan filariasis, timbul dari kebutuhan untuk mengatasi
masalah penyakit yang dihadapi ilmuwan tamu dan pelaksana pemerintahan dari
luar pada waktu itu. Di sektor pertanian, entomologi dikembangkan untuk
mengatasi masalah gangguan terhadap produksi pertanian, termasuk peternakan,
perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Perkembangan entomologi yang berkaitan
dengan pertanian ini mengikuti jalur yang sempit, terbatas pada kebutuhan
menangani masalah-masalah pada komoditi pertanian yang terbatas.
Perkembangan kegiatan entomologi di
Indonesia telah berlangsung tanpa kepastian periode. Tidak ada indikator yang
secara jelas menunjukkan akhir suatu masa atau indikator lain yang mengawali
masa baru. Oleh karena itu, pengelompokan kegiatan entomologi di Indonesia akan
didasarkan pergantian abad. Karena catatan yang dapat digunakan untuk menarik
balik kegiatan entomologi tersedia hanya mulai abad ke-19, kegiatan entomologi
di Indonesia dibagi menjadi era sebelum dan sesudah abad ke-20. Dalam abad
ke-20, kegiatan dapat dikelompokkan menjadi sebelum dan sesudah Perang Dunia
II.
a. Sebelum
abad ke-20
Penelusuran perkembangan pada periode ini ditarik ke
belakang sampai sejauh waktu yang tak dapat ditentukan. Walaupun demikian,
perkembangan yang terjadi mempunyai titik-titik pusat tertentu. Adanya kegiatan
oleh tokoh tertentu atau peristiwa tertentu dapat menandai pusat kegiatan
entomologi pada masa yang bersangkutan. Kegiatan ilmiah yang mulai
mengungkapkan keadaan fauna pada umumnya – menyangkut pula artropoda – terjadi
ketika George Everhard Rumph atau yang lebih dikenal dengan nama Georgii
Everhardi Rumphius mengirimkan sepucuk surat tertanggal 20 Agustus 1662 kepada
Direktur Utama “East Indies Company” (Vereeniging Oost Indi‘ Companie – VOC).
Dalam surat tersebut dikemukakan permohonannya untuk bekerja mempertelakan
berbagai kelompok makhluk dengan mencakup binatang. Pekerjaan ini terlaksana
untuk kawasan Ambon dan sekitarnya. Kematian Rumphius pada awal abad ke-18
(1702) mematikan pula pelita penelusuran perkembangan ilmu mengenai binatang
pada awal abad ke-18 ini.
Dari tahun 1700-an tidak banyak hal mengenai
kegiatan entomologi di Indonesia yang dapat dikemukakan. Tidak ada tokoh atau
peristiwa yang layak dicatat atau memberikan pertanda kegiatan entomologi.
Dalam hal ini hanya dapat diambil deduksi terhadap dampak yang mungkin terjadi
dengan terbitnya Systema Naturae edisi ke-10 oleh Carol von Linne (Carolus
Linnaeus) pada tahun 1758. Buku ini telah merangsang para muridnya untuk
melakukan kegiatan penjelajahan ke segala pelosok dunia. Rangsangan ini telah
mendorong pula Francis Walker dari Inggris dan J. van der Wulp dari negeri
Belanda untuk menjamahkan tangannya di kawasan Indonesia pada awal tahun
1800-an. Kegiatan entomologiwan Eropa di Indonesia ini dan di berbagai kawasan
yang masih belum banyak terjamah, seperti Mesir, India, Birma, Indocina, dan
Filipina, merupakan akibat perkembangan semangat penjelajahan ilmuwan – lebih
tepatnya penggemar alam – yang dipelopori Carolus Linnaeus sejak beberapa
dasawarsa sebelum pertengahan abad ke-18. Berpuluh tahun kegiatan entomologi
hanya berkisar pada penemuan takson baru serangga.
Kegiatan penjelajahan sebagai dampak karya Linnaeus
ini masih terus berlangsung. Pada masa itu, penjelajahan dan penemuan takson
merupakan inti kegiatan biologi. Hasil penjelajahan yang berupa penemuan dan
pertelaan spesies baru akan mengangkat derajat penemunya. Konsentrasi
penjelajahan ditentukan terutama untuk tujuan pengungkapan unit-unit baru
fauna, khususnya serangga. Dalam perkembangan selanjutnya, pengungkapan unit
baru ini mempunyai corak yang sudah berbeda. Dengan penjelajahan seorang
naturalis Alfred Russel Wallace pada tahun-tahun mendekati pertengahan abad ke-19,
kegiatan entomologi di Indonesia bukan saja mengungkapkan adanya takson, tetapi
juga peran dan kedudukan takson dalam habitatnya serta makna adanya takson
terhadap susunan kehidupan di suatu kawasan. Penjelajahan dengan proyeksi
sasaran seperti ini merupakan revolusi ilmu yang berkaitan dengan makhluk.
Perkembangan semacam ini dimungkinkan karena kegiatan A.R. Wallace kebetulan
meliputi dua region utama fauna dengan daerah peralihannya – yang kini dikenal
sebagai Wallacea.
Kesimpulan dari pengamatan terhadap serangga dan
komponen fauna lainnya di kawasan yang terbatas ini menyamai deduksi yang
disusun oleh Charles Robert Darwin. Dari perjalanannya mengelilingi dunia
bersama kapal “The Beagle”, Charles Darwin menyimpulkan data dan informasi
alami yang diperolehnya ke arah pengembangan teori evolusi hayatinya. Dari
deduksi A.R. Wallace terbukti bahwa pengamatan entomologi yang dikembangkan di
Indonesia telah menjadi salah satu titik tumpuan perkembangan biologi modern
(Wallace, 1890). Sayangnya, pengetahuan biologi umum pada waktu itu belum
memadai untuk memanfaatkan penemuan Wallace dan Darwin. Kembalilah corak
kegiatan entomologi di Indonesia kepada yang klasik, yaitu penjelajahan untuk
menemukan takson baru. Walaupun demikian, kegiatan penjelajahan telah pula
menimbulkan dampak sampingan di sisi lain. Timbullah beberapa sisi terapan,
baik yang langsung maupun yang tak langsung, yang menyangkut sektor pertanian
(dalam arti luas) dan kesehatan.
Mengikuti kegiatan penjelajahan di belantara
Nusantara, timbullah pula keluaran tambahan selain penemuan takson baru. Ada
pengaruh kebuasan belantara tropik yang terasa oleh para penjelajah. Yang
sangat terasa ialah gangguan kesehatan yang dialami oleh para penjelajah dan
pejabat pemerintahan yang bukan berasal dari Indonesia (Snapper, 1945).
Gangguan utama ialah penyakit tropik. Tekanan penyakit tropik mendorong
terbentuknya pelayanan kesehatan yang dilembagakan pada tahun 1826. Beberapa
fokus diberi perhatian utama, di antaranya ialah malaria dan filariasis. Kedua segi
kesehatan ini melibatkan serangga dan tentunya memerlukan pula penelitian dan
pengembangan entomologi pada jalur ini. Mulai dari kejadian inilah secara resmi
entomologi kesehatan tumbuh di Indonesia.
Di sektor pertanian perhatian utama pada waktu itu diberikan
kepada pengembangan komoditi ekspor dan pertanian pangan. Komoditi ini
merupakan andalan pemerintah kolonial pada waktu itu. Justru terbentuknya
pemerintahan kolonial ialah karena komoditi ini. Pada pertengahan abad ke-19,
mengikuti perkembangan kultuur-stelsel pada awal abad tersebut, penelitian
mulai diarahkan kepada penggarapan perkebunan. Untuk keperluan ekspor dari
sektor ini pengembangannya berlangsung sejak 20 tahun sebelum berakhirnya abad
ini. Entomologi perkebunan berkembang secara khusus di samping entomologi
pertanian lainnya.
b. Dalam
abad ke-20
Sebenarnyalah abad ke-20 ini merupakan awal
perkembangan dan pemekaran kegiatan entomologi di Indonesia. Penjelajahan yang
mengungkap-kan penemuan baru serta usaha meningkatkan komoditi ekspor dari
perkebunan dan produksi tanaman pangan menimbulkan kebutuhan membangun
laboratorium sendiri di Indonesia. Permasalahan utama ialah penanganan terhadap
binatang. Inilah alasan utama diresmikannya laboratorium zoologi di Bogor pada
tahun 1901. Sebelum secara resmi berdiri, laboratorium ini telah menggelar
kegiatannya sejak tahun 1894. Inilah pula titik tolak pengembangan entomologi
di Indonesia. Laboratorium ini diberi nama “Landbouw-Zoologische Labortorium”
(Lieftinck dan van Bemmel 1945) diprakarsai oleh Melchior Treub sebagai
Direktur Kebun Raya (‘s Land Plantentuin) dan dipercayakan kepada Koningsberger
sebagai pengelolanya. Kemudian sejak pertengahan tahun 1940-an sampai kini
terkenal dengan nama Musuem Zoologicum Bogoriense (Kadarsan et al. ,1994).
Sejak pendirian laboratorium ini, kegiatan
entomologi di Indonesia – yang penyelesaiannya dilakukan di Indonesia sendiri –
memperlihatkan dua jalur utama. Perpecahan dua jalur ini tidak dapat
dihindarkan karena adanya dua macam kebutuhan yang berbeda, yaitu tradisi
prestise dan kebutuhan ekonomi komersial. Penjelajahan untuk mengungkapkan
penemuan takson dan identifikasi memperoleh kedudukan resmi, sedangkan
penelitian peri laku dan peran serangga terhadap komoditi pertanian mendapat
bantuan penyelesaian dari segi taksonominya. Penjelajahan menjadi tidak
terbatas pada lingkup takson, tetapi juga mencakup pengamatan yang berkaitan
dengan segi terapan. Kegiatan entomologi di laboratorium zoologi di Bogor ini
cenderung untuk berfokus pada taksonomi. Kegiatan entomologi pertanian
terakomodasi di lembaga yang berbeda. Peristiwa ini telah mengawali dan
mendasari terpisahnya entomolgi dasar (basic) yang tetap bermukim di ‘s Land
Plantentuin yang kemudian menjadi lembaga penelitian di bawah Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan entomologi terapan (applied) di Departemen
Pertanian Indonesia.
c. Setelah
perang dunia II
Sesudah Perang Dunia II kegiatan entomologi di
Indonesia tidak segera bangkit kembali. Perang dan pendudukan Jepang
benar-benar menghentikan laju kegiatan entomologi. Walaupun demikian, pada
akhir tahun 1949, dirintis suatu pendirian “klub” yang akhirnya menjelma
menjadi suatu perhimpunan yang dinamai Entomologische Vereeniging in Indonesi‘
(EVI – Perhimpunan Entomologi [di] Indonesia). Perhimpunan yang sudah mulai
berdiri ini segera membentuk anggaran dasar yang pada asasnya mirip anggaran
dasar NIEV, yaitu mendorong dan merangsang perkembangan ilmu serangga di
Indonesia. Perhimpunan ini menerbitkan majalah Idea, yang bertahan terbit
sampai tahun 1960. Karena anggaran dasar EVI dinyatakan berlaku sampai tahun
1964, diedarkan surat dari Pengurus Perhimpunan ini untuk mendirikan kembali
perhimpunan entomologi di Indonesia. Baru pada tahun 1970, upaya pendirian ini
berhasil dengan dibentuknya Perhimpunan Entomologi Indonesia di Salatiga pada
tanggal 1 Oktober.
Dalam periode 1950-an sampai akhir tahun 1960-an
kemacetan bertambah menonjol dengan situasi negara yang tidak memungkinkan
pemulihan kegiatan penelitian. Dampak Perang Kemerdekaan, pemberontakan di beberapa
daerah, dan situasi keuangan negara serta tiadanya tenaga pelaksana, praktis
menghentikan perputaran roda kegiatan entomologi di Indonesia. Keadaan ini
berlarut sampai mendekati akhir tahun 1960-an. Dalam periode kemacetan ini
masih sempat dilakukan beberapa kali ekspedisi pengumpulan oleh Museum
Zoologicum Bogoriense serta penelitian terbatas oleh lembaga-lembaga di
lingkungan Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan. Selain jumlahnya yang
amat terbatas, mutunya pun tidak terlalu dapat diharapkan, apalagi dampaknya.
Dalam suasana memprihatinkan ini para peneliti dan
ilmuwan Belanda yang hampir mendominasi kegiatan ilmiah di Kebun Raya Bogor,
yang menjadi pusat kegiatan biologi dengan “cabang-cabangnya” dalam botani,
zoologi dan mikrobiologi, melakukan perpindahan massal ke negeri leluhurnya
(Adisoemarto, 1999). Eksodus ini mendorong didirikannya Akademi Biologi pada
tahun 1955. Selain Akademi Biologi, usaha untuk mengisi kekosongan di bidang
pertanian juga pendirian Kursus Akademi Penyelidikan Pertanian pada tahun 1952.
Kursus Akademi ini berakhir pada tahun 1957, tetapi kebutuhan akan tenaga
memerlukan dilanjutkannya Akademi ini. Adanya Akademi Biologi yang juga
diperlukan untuk menghasilkan para biologiwan muda harus dilanjutkan. Dengan
strategi yang sangat indah, kedua akademi ini digabung, dan pada tahun 1957
dilanjutkanlah kedua akademi ini dengan Akademi Pertanian. Akademi terakhir ini
berlangsung sampai tahun 1968. Dari sinilah dilahirkan entomologiwan dan
ahli-ahli pertanian muda awal, yang sanggup mengisi kekosongan posisi ilmuwan
dan ahli Belanda yang meninggalkan Indonesia.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) Pemerintah
Republik Indonesia dimulai pada tahun 1969. REPELITA ini membangkitkan berbagai
kegiatan di Indonesia, termasuk di dalamnya juga kegiatan entomologi. Sedikit
demi sedikit kegiatan mengenai serangga mulai digerakkan. Arahnya ditentukan
oleh kelompok yang ada dan memungkinkan terjadinya perkembangan. Pada waktu
itu, yang menonjol ialah kelompok penelitian terhadap komoditi pertanian,
terutama padi, dari gangguan hama. Perkembangan ini dapat terjadi karena
terhimpunnya kekuatan kelompok yang telah ditumbuhkan di perguruan tinggi atau
tempat pendidikan lainnya. Selain itu, kebutuhan negara dalam mencukupi pangan
bagi rakyatnya mendorong penelitian terhadap serangga ke arah penanggulangan
hama pertanian, khususnya padi. Mulailah perkembangan entomologi pertanian,
yang terpusatkan pada pemberantasan hama padi. Kelompok lainnya praktis tidak
mempunyai kekuatan, karena dalam pengem-bangannya tidak pernah dipersiapkan.
Pada tahun 1960-an sampai tahun 1970-an keadaan entomologi di Indonesia mirip
keadaannya pada awal abad ke-20. Suatu keadaan yang tidak dapat dibanggakan.
B.
Entomologi
Terapan
Berbagai kegiatan entomologi yang berkaitan
dengan ekonomi negara telah dilakukan sejak awal abad ke-20. Pada waktu itu
negara ialah pemegang perdagangan yang telah diserahkan oleh VOC sejak tahun
1798 ketika VOC menyatakan diri pailit2.
Kegiatan-kegiatan entomologi yang penting pada waktu itu termasuk penanganan
terhadap hama teh pada tahun 1906. Kegiatan semacam ini bertambah meluas setiap
tahun. Komoditi yang mendapat perhatian berikutnya ialah karet. Di samping itu,
kelompok tanaman yang tidak menjadi komoditi ekspor pun memperoleh perhatian
pula, di antaranya anggrek dan Ficus. Mulailah dilaksanakan pengamatan tehadap
hama secara umum, termasuk serangga-serangga yang menjadi parasitnya. Sementara
kegiatan entomologi pada komoditi tersebut terus berjalan, penambahan cakupan
komoditi berlangsung juga. Pada awal dasawarsa kedua abad ini dimulailah
penanganan terhadap hama coklat dan tembakau. Kemudian, penelitian dalam aspek
entomologi ini berkembang lebih lanjut mencakup kina. Perkembangan ini rupanya
terjadi pula pada sektor lain, termasuk kehutanan, di antaranya penanganan
terhadap hama kayu jati.
Dimulai pada awal abad ke-20 ini,
sebelum ditutupnya dasawarsa pertama, perhatian telah diberikan kepada
serangga-serangga pengganggu padi. Perhatian ditujukan kepada hama pertama,
Agrotis sp. dan Hesperia philino. Penelitian terhadap hama padi ini mendapat
perhatian khusus dan dilakukan secara terus-menerus, sehingga parasitnya pun
ikut diperhatikan. Kemudian dapat pula diungkapkan berbagai hama yang lain,
penggerek batang padi dan wereng. Telah disadari sejak tahun 1916 bahwa wereng
sangat berbahaya dan dapat memusnahkan padi. Kepentingan penelitian hama padi
ini tercermin pada curahan perhatian khusus oleh K. W. Dammerman sejak tahun
1915, lima tahun sejak dia diangkat secara resmi menjadi entomologiwan3. Setahun sebelumnya, ia telah mulai
penelitiannya dengan percobaan pemberantasan penggerek padi.
Selain memberikan perhatian khusus pada
padi, Dammerman menyadari pentingnya belalang Valanga nigricornis sebagai hama.
Kesadaran timbul setelah terjadinya keganasan belalang ini di daerah
Semarang-Rembang dan Madiun. Sinyelemen Dammerman ternyata benar, yaitu setelah
satu tahun kemudian, pada tahun 1916, dengan terjadinya serangan Valanga
nigricornis yang menghabiskan perkebunan jati di Jawa Timur dan kelapa di
daerah sekitarnya. Serangan belalang terjadi juga pada tahun yang sama di
Ternate dan Halmahera, sehingga menurunkan jumlah ekspor.
Perhatian terhadap hama kelapa secara
umum sebetulnya telah diberikan pada tahun 1913, ketika terjadi serangan Artona.
Serangan ini menghebat pada tahun 1915, ketika perhatian lebih banyak ditujukan
kepada padi. Mungkin karena pengalaman ini, selain diperdalamnya pengamatan
terhadap hama padi, seperti walang sangit dan wereng, peningkatan pengamatan
hama juga dilakukan terhadap kopi dan coklat serta kelapa sawit. Pengungkapan
hama kelapa berlangsung terus sampai memunculkan spesies-spesies seperti Hidari
irava, Oryctes dan Chalcosoma. Sementara Itu, serangan Artona makin meluas,
sehingga pada tahun 1917 dilakukan penelitian khusus terhadap hama kelapa di
Padang.
Di samping padi, komoditi pangan yang
mendapat perhatian ialah jagung dan ubi jalar. Hama jagung mulai diperhatikan
pada tahun 1909, bersamaan dengan perhatian terhadap padi. Dua tahun kemudian
barulah pada ubi jalar. Terhadap ubi jalar ini penelitian terus dilakukan
sampai penemuan Herse convolvuli dan spesies-spesies hama lainnya pada tahun
1917. Di samping spesies-spesies dari ubi jalar, penemuan hama diperoleh juga
dari tumbuhan merambat lainnya, yaitu yang berupa lalat hama kerabat waluh
(Cucurbitaceae).
Dengan pengalaman dalam menghadapi
serangan hama dan pengetahuan tentang penanggulangannya pada tahun 1917 ini,
makin banyak spesies hama yang diungkapkan. Pertambahan jumlah hama dan cara
penyerangannya mendorong para entomologiwan dan ahli pertanian untuk mengubah
konsep pemberantasan hama. Penjelajahan pengungkapan hama meluas sampai
Sumatera. Dari pengalaman tersebut mulai disadari perlunya perhatian terhadap
daur hidup serangga. Pada tahun 1913 Dammerman mulai memberikan perhatian
dengan ikut meneliti ekologi hama. Dua tahun sebelumnya, aspek ekologi
sebetulnya sudah disentuh, dengan dilakukannya penelitian terhadap aspek
pestisida.
Selagi orang sibuk menangani berbagai
hama, yang makin lama terlihat makin banyak, terjadilah pemasukan lalat buah,
Ceratitis capitata, yang terbawa ke Indonesia melalui buah-buahan yang diimpor
dari Australia. Pada waktu itu belum ada perhatian khusus untuk menghadapi
masuknya spesies asing ke dalam negeri. Dari kejadian pada tahun 1914 ini
timbul usaha untuk melakukan pencegahan pemasukan hama dari luar. Penjagaan ini
dilakukan pula terhadap buah-buahan yang dimasukkan dari kawasan sekitar Lautan
Tengah. Pada waktu itu gagasan mengenai karantina belum ada, tetapi kejadian
ini mungkin menjadi dasar pengembangan karantina pertanian di Indonesia.
Penjelajahan, pengamatan dan penemuan
untuk mengungkapkan hama pertanian berlangsung terus. Hama kacang-kacangan,
pisang, kakao, agave, kentang dan lain-lainnya mulai terungkap. Kemajuan berlangsung
terus sampai terjadinya Perang Dunia II. Walaupun demikian, catatan keadaan
hama pertanian atau tanaman yang terdapat di Indonesia masih sempat terkumpul.
Kumpulan catatan ini tersusun dalam buku-buku yang diterbitkan oleh L.G.E.
Kalshoven dan J. Van der Vecht, serta H.J.V. Sody dan A.C.V. van Bemmel untuk
mamalia dan burung.
C.
Kemajuan
Entomologi di Indonesia
Publikasi hasil kegiatan entomologi di
Indonesia yang terbit segera sesudah Perang Dunia II mencerminkan situasi
kegiatan entomologi yang masih sangat terbatas. Keterbatasan ini terasa sekali
dalam cakupan sektor maupun kedalaman penelaahannya. Sebelum Perang Dunia II,
publikasi didominasi oleh ilmuwan Belanda. Namun dalam perkembangan kemudian
ada seorang entomologiwan Indonesia yang pada tahun 1950-an mempertelakan
serangga kakao (1950) dan penggerek polong Crotalaria (1958). Penelitian
Sutardi ini masih terbatas pada segi terapan di bidang pertanian. Penelitian
dasar dilakukan secara sporadis, tetapi pada umumnya oleh peneliti asing yang
tinggal sementara di Indonesia. Tidak ada pola baik geografinya maupun kelompok
serangga yang ditelitinya. Beberapa yang dilakukan adalah mengenai sistematika
lebah madu, lalat dari Nusa Tenggara Timur, nyamuk dari berbagai pulau, dan
sekelompok kumbang akuatik dari Flores. Dalam dasawarsa berikutnya, penelitian
ditekankan pada segi taksonomi beberapa kelompok pilihan yang menjadi minat
pribadi peneliti. Dalam kecamuk serangan hama wereng, dilaksanakan seminar
khusus mengenai cara menanggulangi hama yang sangat ditakuti oleh petani dan
pemerintah (Sadjad et al., 1977). Di sela-sela perhatian khusus pada wereng
dilakukan pula penelitian terhadap pengorok daun palawija, penggerek batang
padi, penggerek polong kakao, dan pemeliharaan beberapa parasit (van der Laan,
1981).
Di luar bidang pertanian, peningkatan
kegiatan pun terjadi juga karena peningkatan jumlah tenaga pelaksana. Perhatian
diberikan kepada bidang kehutanan, kesehatan, dan permukiman manusia.
Entomologi dasar mulai bangkit. Makin bertambahnya jumlah entomologiwan
dibuktikan oleh timbulnya kebutuhan untuk membuat wadah yang mempersatukan para
entomologiwan, yaitu dengan didirikannya Perhimpunan Entomologi
Indonesia (PEI), setelah melalui berbagai tahap perkembangan.
Adanya kegiatan yang
meningkat terbukti pula dengan makin meningkatnya publikasi mengenai serangga.
Pada Kongres Perhimpunan Entomologi I dan Simposium Entomologi pada tahun 1974,
tercatat 83 makalah yang disajikan dalam simposium. Sudah menjadi kebiasaan
bahwa simposium nasional entomologi menyertai kongres entomologi. Pada simposum
berikutnya pada tahun 1983, jumlah ini menjadi lebih dari 200 makalah. Ruang
lingkupnya pun menunjukkan perluasan. Lebih banyak kelompok serangga yang
dibahas dengan mencakup lebih banyak aspek. Pada simposium ketiga pada tahun
1987, kualita menjadi dasar pertimbangan untuk disertakan dalam penyajian,
sehingga jumlah makalah tidak menjadi sasaran dalam simposium, hanya sebanyak
65 artikel. Akan tetapi, untuk membuka peluang bagi entomologiwan muda, kongres
keempat dengan simposiumnya pada tahun 1992 di Yogyakarta menerima sebanyak
mungkin makalah. Mutu kurang diperhatikan, sehingga untuk dapat diterbitkan
sebagai hasil penelitian banyak yang tidak memenuhi syarat. Dari lebih dari 300
makalah yang disajikan dalam Simposium, hanya dua yang layak terbit. Keadaan
ini menjadi wigati para entomologiwan senior untuk pengembangan di masa
mendatang.
Kemerosotan mutu entomologi di Indonesia
tidak dapat dibendung, sehingga pada simposium entomologi yang mendampingi
Kongres Entomologi V di Bandung pada tahun 1997, taraf mutu entomologi
Indonesia mencapai lapisan yang paling bawah. Hanya segelintir makalah yang
mempunyai nilai. Sisanya layak diisikan ke dalam keranjang sampah.
Kecenderungan kemerosotan mutu entomologi ini menjadi keprihatinan para
entomologiwan senior, sehingga tercetus gagasan untuk mengembalikan entomologi
Indonesia ke taraf yang seharusnya, dengan fungsi dan peran, baik dalam
menyediakan bahan (informasi dan pengetahuan) maupun dalam bentuk pelayanan.
Upaya ini ditempuh dengan beberapa cara, di antaranya ialah diskusi, loka
karya, seminar, dan pertemuan ilmiah lain.
Dari pertemuan ilmiah yang dilakukan di
sela-sela simposium nasional, ternyata dirasakan adanya perhatian yang
diberikan bukan saja kepada sektor pertanian (dalam arti sempit, pemberantasan
hama padi), tetapi juga pada kehutanan, baik yang khusus maupun yang umum,
kesehatan dan permukiman, serta sektor lain kehidupan, termasuk juga di
dalamnya entomologi dasar. Dari pertemuan-pertemuan ilmiah entomologi ini,
terasakan pula mulainya tumbuh entomologi selain pertanian (dalam skala
sempit). Pada tahun 1977 mulailah tumbuh pula entomologi kehutanan dan
entomologi yang berkaitan dengan pengaruh pestisida, serangga serta entomologi
di luar pertanian. Aspek-aspek ini tumbuh terus dan lebih berkembang bersama
perhatian terhadap segi-segi pengelolaan hama, yang pendekatannya tidak saja
dari segi pemberantasannya secara langsung, tetapi juga dari disiplin lainnya.
Perkembangan entomologi ini terus berlangsung hingga kini, melalui berbagai
dorongan maupun rintangan.
Dilihat dari segi kuantitas
pelaksananya, perkembangan entomologi di Indonesia menunjukkan titik-titik
cerah. Peran serangga dalam ekosistem makin dirasakan, khususnya dalam
penanganan hama pertanian, terutama padi, sehingga kebutuhan akan pelaksana
dalam menangani serangga semakin terasa. Walaupun demikian, perhatian lebih
besar masih harus diberikan kepada peningkatan kualitasnya. Keterbatasan pada
cakupan yang ditangani dan pengembangan sumber daya manusianya masih belum
mampu memperluas wawasan entomologi di Indonesia. Dorongan utama dalam
perluasan wawasan ini dan untuk meningkatkan mutu pelaksana entomologi datang
dari kesadaran makin dirasakan perlunya entomologi untuk berfungsi dan berperan
dalam pembangunan berkelanjutan.
Pada era pembangunan pertanian di
Indonesia berlangsung upaya pengembangan pengendalian hama terpadu (PHT).
Konsep pengendalian ini mengharuskan dikenalnya berbagai kelompok serangga dan
artropoda lain yang terlibat baik secara langsung maupun tak langsung dalam
proses pengendalian. Pengenalan ini meliputi juga pengenalan terhadap peri
laku, ciri, dan sifat-sifat lain yang dimiliki serangga dan artropoda, baik
pengendalinya maupun yang dikendalikan. Kebutuhan ini memerlukan wawasan
entomologi yang lebih luas daripada sekadar mengenal hama dan cara
mematikannya. Akan tetapi, pengembangan wawasan ini pun masih belum menyentuh
kebutuhan akan dikembangkannya entomologi secara mendasar.
Dalam awal tahun 1990 Perhimpunan
Entomologi Indonesia mencoba mengangkat entomologi dasar ke permukaan. Tekad
ini dicetuskan karena terasa makin terbenamnya entomologi dasar di Indonesia.
Para entomologiwan senior menyadari makin memudarnya disiplin cabang-cabang
entomologi dasar yang disebabkan oleh adanya desakan permintaan untuk
menyelesaikan masalah entomologi yang sangat urgen. Maka berkembanglah suatu
kecenderungan untuk mencari teknologi dan teknik yang tepat dan murah dalam
waktu dekat. Kenyataan ini tercermin dari kebijakan penanggulangan hama, dengan
jalan pintas menuju pemberantasan hama. Keadaan yang tidak menguntungkan bagi
entomologi dasar ini diperberat dengan banyaknya masalah hama yang perlu segera
diselesaikan. Dengan kondisi seperti ini tidak ada kesempatan untuk
memperlajari secara mendasar sebab-sebab yang menimbulkan masalah. Akibat yang
timbul dari pendekatan seperti ini ialah tidak pernah tercapainya taraf
kemampuan untuk mengantisipasi masalah yang akan timbul dan mempersiapkan
ilmu-ilmu dasar yang harus diramu untuk menghadapi datangnya masalah baru.
Akibat lebih lanjut yang terjadi ialah penanganan masalah – hama dan lain-lain
yang berkenaan dengan serangga – secara sekadar pelaksanaan tugas, yang tak
berbeda dengan tugas pemadam kebakaran.
Keadaan memaksa untuk tidak menerapkan
ilmu-ilmu dasar entomologi mengakibatkan tidak adanya kesadaran akan proses
berkelanjutan dan jalinan aspek ilmu dasar :
1. Kisaran
ilmu dasar dan kisaran ilmu terapan entomologi akan membentuk kesinambungan.
Dalam bidang entomologi pun, produk yang dihasilkan ilmu dasar akan menjadi
dasar bagi ilmu yang menerapkannya. Produk yang dihasilkan oleh ilmu yang
menerapkan ini akan menjadi dasar bagi ilmu lainnya yang akan menerapkannya
lebih lanjut. Rangkaian ini berlangsung terus sebagai proses yang bersinambung.
2. Ilmu
dasar entomologi ialah sumber keberhasilan dan berfungsinya ilmu terapan.
3. Sebaliknya, ilmu dasar entomologi dapat
dikembangkan dari ilmu terapan.
4. Tiadanya
kesadaran ini melepaskan kebutuhan terhadap ilmu dasar entomologi dalam
pelaksanaan pembangunan. Antara ilmu dasar dan pembangunan tidak terlihat
jalinan yang eksplisit. Renggangnya jalinan ini diperbesar dengan kenyataan
bahwa terhadap kerugian yang ditimbulkan dari tidak dikuasainya ilmu-ilmu dasar
entomologi belum dilakukan perhitungan ekonomi, khususnya dalam bentuk rupiah.
Ramifikasi jalinan ilmu
dasar dan ilmu terapan entomologi dan jalur panjang yang harus ditempuh
sehingga ilmu dasar entomologi dapat menunjukkan kepentingannya membat ilmu
dasar entomologi terasa kering dan tidak bermanfaat. Hasil yang segera dapat
dirasakan tidak dapat segera dilihat. Akibat keadaan ini ialah dihindarinya
pendalaman terhadap ilmu-ilmu dasar dalam entomologi – misalnya morfologi dan
anatomi, histologi, fisiologi, genetika, dan taksonomi – di arena pendidikan,
khususnya di perguruan tinggi. Ilmu dasar entomologi dianggap sebagai beban
yang tidak menghasilkan buah. Merupakan kenyataan bahwa sampai kini, awal abad
ke-21, sistem pendidikan di perguruan tinggi di Indonesia belum mendukung
penempatan ilmu dasar, khususnya entomologi, pada perspektif yang sebenarnya.
Dicetuskannya Convention on Biological
Diversity (CBD) dan beberapa keputusannya, mencanangkan perlunya
dimanfaatkannya entomologi secara tepat guna. Dalam pertemuan para Pihak
(peratifikasi CBD) – COP 3 di Buenos Aires, Argentina, dikeluarkan Decision III
CBD yang mencakup pemanfaatan entomologi. Dengan tegas dinyatakan perlunya
pelibatan penanganan terhadap keanekaragaman serangga, dalam aspek-aspeknya,
untuk memanfaatkan keberadaannya. Beberapa aspek yang secara eksplisit
disebutkan dalam isu untuk pengkajian khusus ialah serangga penyerbuk.
Aspek-aspek yang disarankan untuk dikaji ialah (1) pemantauan terhadap
hilangnya serangga penyerbuk pada skala dunia, (2) identifikasi penyebab khusus
menurunnya serangga penyerbuk, (3) estimasi biaya ekonomi yang berkenaan dengan
berkurangnya penyerbukan pada tanaman, dan (4) identifikasi dan dorongan
terhadap penerapan praktek-praktek pelestarian untuk mempertahankan penyerbuk
utama atau untuk mengembalikan keberadaannya.
Penerapan kajian tersebut telah pernah
dicoba dengan perluasan cakupan, yang bertujuan untuk merintis kembali dan
membina pengembangan ilmu-ilmu entomologi dasar di Indonesia. Telah ditempuh
pendekatan terhadap isu-isu tematik, yang mencakup pemantauan status
pengetahuan terhadap penanganan serangga hama dilihat dari segi-segi ilmu dasar
yang telah diterapkan dalam upaya penanganan tersebut. Penelaahan yang sama
juga dilakukan terhadap artropoda tanah (Suhardjono et al., 2001), ekosistem
perairan, dan serangga penyerbuk sendiri. Telah terpolanya pemikiran dalam
penanganan serangga hama sebagai inti dalam pengkajian terhadap entomologi,
pengungkapan status pengetahuan mengenai serangga yang terlibat dalam segi
pendekatan tersebut masih kurang dapat membawa kebanyakan entomologiwan
Indonesia untuk memahami pentingnya ilmu dasar entomologi dalam memecahkan
permasalahan entomologi.
Tingkat pemahaman seperti yang diuraikan
di atas telah memperbesar rintangan dalam menghidupkan ilmu-ilmu dasar
entomologi. Rintangan ini terwujud dalam bentuk penyederhanaan bahkan peniadaan
pengajaran entomologi di perguruan tinggi, menjadi hanya sekadar pengenalan
jenis, dan klasifikasi dalam invertebrata, bukan entomologi yang sebenarnya.
Penyebabnya ialah tidak dipahaminya kaidah entomologi oleh pengajar/dosen
entomologi. Para dosen ini pun mendapat pemahamannya dari pengajaran
sebelumnya. Kurikulum mengenai entomologi di perguruan tinggi dan sekolah
menengah menjadi tidak jelas, bukan mengajarkan entomologi tetapi lebih pada
penghafalan spesies yang berkaitan dengan perannya sebagai hama dan musuh
alami. Status entomologi seperti ini tidak dapat dibiarkan. Pengajaran
entomologi harus dikembalikan pada pengajaran mengenai materi entomologi dalam
pengertian yang benar.
Dari uraian di atas, tampak jelas corak
entomologi secara menyeluruh dalam dimensi waktu. Walaupun demikian, dalam
sektor-sektor lain perkembangan entomologi belum diungkapkan. Pada
sektor-sektor kehutanan, peternakan, kesehatan, dan permukiman ada kemungkinan
besar bahwa keadaannya tidak jauh berbeda, kalaupun ada perbedaannya. Pada
kenyataannya, bahkan mungkin agak terabaikan. Kepincangan seperti ini dapat
dimengerti karena jika dibandingkan dengan keadaan tanaman pangan, khususnya
padi, komoditi di luar tanaman relatif tidak terlalu banyak dikerumuni serangga
hama atau pengganggu. Bobot terberat masih pada penanganan hama padi. Entomologi
sebagai ilmu masih memerlukan uluran tangan untuk dikembangkan menjadi ilmu
yang benar-benar entomologi.
Lebih penting daripada penanganan
terhadap kekurangan dalam sektor-sektor yang terabaikan itu ialah penanganan
sektor pendidikan entomologi. Tidak jelas pula bagaimana pendidikan entomologi
berkembang di Indonesia sesudah Perang Dunia II. Dalam kenyataannya kini
pendidikan entomologi di kebanyakan perguruan tinggi terlalu bersifat pragmatis
dan praktis. Pengetahuan dasar entomologi tidak pernah menjadi menu dalam mata
kuliah entomologi. Segi-segi mendasar yang diperlukan untuk memahami kehidupan
serangga kurang mendapat perhatian. Tidaklah mungkin dengan pendidikan
entomologi seperti ini akan dapat dikembangkan entomologi Indonesia yang dapat secara
kokoh menjadi tiang utama dengan landasan yang kokoh pula dalam menangani
permasalahan yang ditimbulkan oleh serangga.
Perkembangan entomologi dan segi
pendidikannya yang terjadi di Indonesia seperti yang diuraikan di atas tidak
terlalu menyimpang dari jalur perkembangannya. Dari semula kaitan penelitian
entomologi di Indonesia dengan pendidikan entomologi di Indonesia tidak
terjalin secara tegas dan jelas. Sampai kini belum pernah dirumuskan
entomologiwan yang bagaimana diperlukan untuk menangani masalah entomologi yang
akan berkembang atau terproyeksikan di masa mendatang. Kebutuhan terhadap
entomologiwan ini belum pernah dihitung, karena entomologi yang bagaimana yang
dapat berfungsi dan berperan untuk menyongsong perkembangan permasalahan yang akan
timbul pada masa mendatang pun belum juga diperhitungkan. Oleh karena itu,
pemaduan program penelitian dengan program pendidikan entomologi di Indonesia
masih mempunyai peluang besar untuk dikembangkan. Entomologi yang telah
berkembang di Indonesia sampai saat ini belum mempunyai bentuk yang mantap.
Perkembangannya masih terbatasi penggunaan secara pragmatis, yaitu pada
penanggulangan hama pertanian, terutama komoditi industri dan ekspor. Walaupun
di sektor ini entomologi telah lebih berkembang daripada di sektor lain,
perkembangan ini masih belum terlepas dari hambatan, karena justru aspek
entomologi yang menjadi landasan perkembangan dalam penanggulangan hama itu
sendiri belum dikembangkan dengan semestinya.
Secara konseptual belum ada kemantapan
arah perkembangan entomologi di Indonesia, bahkan pemikiran pengembangannya pun
belum tumbuh. Dalam keadaan seperti ini sukarlah menempatkan entomologi di
Indonesia menjadi ilmu yang memimpin, apalagi sebagai entomologi yang dapat
mengantisipasi. Pedoman utama yang akan dapat mengarahkan pengembangannya ialah
sektor dalam kehidupan manusia Indonesia. Dengan meramalkan perkembangan ini,
program entomologi di masing-masing sektor dapat direncanakan, dan
pengembangannya dapat dipastikan.
Aspek entomologi secara umum telah
menduduki tempat utama dalam permasalahan pada lingkungan manusia. Peran ini
ditunjukkan secara langsung dalam sektor-sektor pertanian, kehutanan,
kesehatan, dan lingkungan permukiman. Alasan kepentingannya ditimbulkan oleh
adanya hubungan langsung antara serangga dan manusia. Hubungan ini akan selalu
ada dan berkembang, selama manusia masih mengembangkan kebudayaannya melalui
empat sektor tersebut. Perkembangan hubungan ini menuntut dikembangkan-nya
entomologi yang tepat guna, yang di masing-masing sektor harus diperhitungkan.
Perkembangan pada keempat sektor tersebut harus dipantau secara terus-menerus,
sehingga program yang diperlukan dalam setiap sektor dapat diketahui, dan
entomologi yang mendasarinya dapat diantisipasi.
Berdasarkan laju pertumbuhan penduduk di
Indonesia, keempat sektor tersebut akan berkembang secara pesat pula. Produksi
pertanian harus ditingkatkan, baik dalam volume maupun dalam mutu, sumber daya
hutan harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, pelayanan kesehatan harus
diper-baiki, permukiman harus diperluas, dan lingkungan harus ditata sedemikian
rupa sehingga serasi dan layak untuk kehidupan manusia. Peningkatan kegiatan
dalam keempat sektor tersebut akan menuntut pendayagunaan entomologi untuk
mengatasi masalah yang timbul.
D.
Entomologi
Dalam Sektor Pertanian
Kegiatan entomologi mempunyai dua segi,
pertama sebagai penunjang (promotor) meningkatnya produksi, dan kedua sebagai
pelaku produksi itu sendiri. Aspek penunjang meningkatnya produksi memerlukan
berperannya entomologi dalam komponen-komponen yang berupa kemampuan tanah
untuk pertanian, proteksi terhadap penghasil dan produk pertanian serta peri
laku penyerbukan. Dalam aspek peri laku produksi, entomologi terkait dengan
komponen berupa penghasil pangan (Adisoemarto, 1993a), pakan dan bahan untuk
keperluan lain.
Komponen kemampuan tanah memerlukan
keikutsertaan entomologi dalam dua peran, yaitu untuk menggarap serangga
sebagai indikator dan serangga sebagai promotor. Dalam perkembangan penggunaan
tanah pertanian, perhatian harus mulai diberikan pula kepada tanah atau lahan
pertanian kering dan lahan pekarangan. Pada masa mendatang, kedua tipe lahan
ini akan memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai
indikator kemampuan tanah, entomologi diperlukan untuk menentukan interelasi
dan interdependensi antara tanah dan fauna serangga penghuni tanah yang
bersangkutan (Suhardjono et al., 2001). Hubungan taraf kegunaan masing-masing
tipe tanah berdasarkan tipe fauna serangga yang menghuninya dapat diketahui.
Peran sebagai indikator ini sangat
penting dalam menentukan vegetasi yang paling cocok untuk bentuk atau tipe
tanah yang tersedia. Ketentuan ini sangat diperlukan pada masa-masa mendatang,
mengingat kecenderungan perkembangan sistem pertanian pada masa mendatang, yang
teknologinya dikembangkan menuju peningkatan efisiensi penggunaan pupuk buatan.
Sebagai promotor, peran serangga perombak yang mempercepat perputaran hara
serta menentukan kesuburan tanah akan sangat diharapkan. Untuk pelaksanaannya
diperlukan pengetahuan mengenai entomologi perombakan yang dapat memaksimalkan
efisiensi kehadiran serangga dalam komponen ini.
Peran entomologi dalam komponen proteksi
penghasil dan hasil pertanian sudah berjalan sejak timbulnya kebudayaan
manusia. Dengan kebudayaannya, manusia membudidayakan tanaman, yang selanjutnya
berasosiasi dengan serangga hama dan penyebar penyakit. Dua pihak yang
sebetulnya terlibat dalam komponen ini, yaitu negasi atau anihilasi
(pengurangan atau peng-hapusan) dan maksimasi atau optimasi, seharusnya
mendapat keikutsertaan entomologi secara seimbang. Peran entomologi di
Indonesia kini masih banyak dilakukan terhadap kegiatan negasi atau anihilasi.
Hampir seluruh kekuatan diarahkan untuk menghapuskan serangga hama secara
nir-alami, yaitu dengan penggunaan bahan kimia buatan.
Melihat gejala perkembangan sistem
pertanian serta teknologi pertanian secara menyeluruh, yang akan mempromosikan
ekosistem seimbang, pilihan perhatian entomologi harus diarahkan kepada
kegiatan optimasi. Kecen-derungan perubahan peran insektisida dalam proteksi
tanaman dari pemeran utama menjadi hanya salah satu komponen integrasi
merupakan salah satu gejala ke arah optimasi ini. Kecenderungan ini sudah
beberapa kali diungkapkan. Kegiatan optimasi ini akan memerlukan keikutsertaan
entomologi yang menyangkut berbagai aspek dan disiplin ilmu-ilmu pertanian dan
ilmu lainnya yang menunjang. Entomologi akan sangat diperlukan dalam menentukan
keseimbangan atau optimasi masing-masing unsur dalam sistem pertanian yang
dianut sehingga proteksi terhadap penghasil produk tercapai secara maksimal.
Entomologi lingkungan sangat pelik,
karena di sini bukan saja serangga yang diperhatikan, tetapi juga lingkungan
dan faktor-faktor yang menentukan kehidupan serangga (Adisoemarto et al.,
1997). Walaupun demikian, entomologi lingkungan ini memegang peran terpenting
dalam proteksi penghasil produk. Lagipula, entomologi lingkungan akan selalu
diperlukan untuk jangka waktu yang sangat panjang, mengingat kecenderungan
penyediaan dan penggunaan bahan kimia untuk penanganan hama di masa mendatang.
Walaupun seandainya bahan kimia masih terpaksa menduduki peran teratas dalam
penanganan hama, entomologi akan tetap memegang kedudukan penting pula, karena
hampir semua hama berupa serangga dan toksikologi memerlukan entomologi. Oleh
karena itu, entomologi lingkungan akan sangat diperlukan dalam konstelasi
pertanian dipandang dari segi proteksi penghasil produk. Dalam masa mendatang,
dekat maupun jauh, penganekaragaman hasil pertanian di Indonesia akan merupakan
keharusan. Pertanian tidak hanya akan dipusatkan pada padi, tetapi juga tanaman
pertanian yang lain, hewan, dan bahkan serangga sendiri. Untuk perlindungan
komponen-komponen ini, entomologi tidak dapat ditinggalkan begitu saja.
Dalam kebanyakan kejadian, tanaman dan
tumbuhan lain memerlukan serangga untuk dapat memenuhi fungsinya, yaitu
menghasilkan buah dan biji untuk dapat berkembang biak. Selain untuk
perkembangbiakan tanaman, pembentukan buah dan biji juga diperlukan manusia
untuk menunjang kehidupannya. Berkaitan dengan serangga dalam penyerbukan,
entomologi juga tidak dapat ditinggalkan (Adisoemarto, 1993b; Sastrodihardjo,
2001). Pendayagunaan serangga penyerbuk secara maksimum untuk meningkatkan
produk pertanian belum secara bersungguh-sungguh dipikirkan di Indonesia.
Mekanisme pendayagunaannya belum pernah dirumuskan secara pasti dan tepat,
sehingga bidang ini masih merupakan terra incognita. Potensi serangga penyerbuk
ini belum diperhitungkan di dalam usaha peningkatan hasil pertanian.
Perkembangan keperluan terhadap serangga penyerbuk untuk masa mendatang dan
selanjutnya akan menuntut entomologi yang dapat menangani pendayagunaan
serangga sebagai jasad penyerbukan serta memaksimasi daya gunanya. Dari mulai
sekarang harus sudah dipersiapkan rencana dan pelaksanaan penanganannya.
Karena serangga mempunyai peran dalam
menyediakan dirinya untuk dijadikan sumber penghasil bahan, baik pangan dan
pakan maupun bahan lainnya, pengetahuan tentang kehidupan serangga harus
dipahami betul, yang akan memerlukan entomologi. Pengetahuan mengenai peri
kehidupan yang mengarah kepada usaha pemeliharaan dan pembudidayaan akan sangat
diperlukan. Dalam masa mendatang, jalur entomologi yang sifatnya setaraf
peternakan akan diharapkan sekali keikutsertaannya. Entomologi dalam komponen
ini harus dikembangkan secara mendalam dan meluas, termasuk terhadap kelompok
yang kini masih pada taraf non-konvensional. Entomologi dasar akan amat sangat
diperlukan. Ribuan, ratusan ribu jenis serangga menanti untuk dijamah.
MORFOLOGI SERANGGA
A.
Anatomi Luar (Integumen)
Integumen terdiri dari tiga lapisan utama,
yaitu :
1. Lapisan dasar (basement membrane) dengan
ketebalan kurang lebih ½ m.
2. Epidermis atau hipodermis yang mempunyai
ketebalan satu sel.
3. Lapisan kutikula yang tebalnya kurang
lebih 1m.
Kutikula
terdiri dari sel-sel mati yang dibentuk oleh sel hidup di bawahnya yaitu
epikutikula, dan terdiri dari prokutikula dan epikutikula. Prokutikula terdiri
dari lapisan yang lebih tebal dibandingkan epikutikula. Prokutikula terdiri
dari lapisan endokutikula dan eksokutikula. Epikutikula merupakan lapisan
tipis yang biasanya terdiri dari :
a. Lapisan dalam disebut lapisan kutikulin
(lipoprotein).
b. Lapisan luar disebut lapisan lilin yang sulit
ditembus air.
Bagian yang mengeras dari kutikula
terutama terdapat pada lapisan eksokutikula, disebabkan oleh adanya sklerotin
sebagai hasil dari proses pengerasan yang disebut dengan sklerotisasi. Kutikula
relatif permiabel bila keadaannya tipis, maka dapat dilalui oleh air dan gas.
Pada kutikula
sering dijumpai :
a. sulkus, yaitu lekukan pada kutikula bagian
luar
b. sutura, yaitu garis persatuan antara dua
sklerit yang terpisah
c. apodema atau apofisis, yaitu penonjolan
bagian dalam kutikula
1.
Morfologi Kepala
Kepala merupakan bagian depan dari tubuh serangga dan
berfungsi untuk pengumpulan makanan dan manipulasi, penerima rangsang dan otak
(perpaduan syaraf). Struktur kerangka kepala yang mengalami sklerotisasi
disebut sklerit. Sklerit-sklerit ini dipisahkan satu sama lain oleh sutura yang
tampak sebagai alur Kutikula pada kepala mengalami penonjolan ke arah dalam,
membentuk rangka kepala bagian dalam yang disebut tentorium.
a. Prognatous (menghadap ke depan), contoh :
Sithopillus oryzae (Coleoptera, Curculionidae)
b. Hypognatous (menghadap ke bawah), contoh :
Valanga nigricornis (Orthoptera, Acrididae)
c. Ophistognatous (menghadap ke bawah dan
belakang), contoh : Leptocorisa acuta (Hemiptera,
Alydidae)
Pada kepala terdapat dua
organ penerima rangsang yang tampak jelas yaitu mata tunggal dan antena.
1.
Mata
Terdiri
dari dua jenis : mata majemuk dan tunggal.
Gambar 1. Struktur Mata Majemuk pada serangga
Gambar 2. Struktur Mata Tunggal pada serangga
2.
Antena
Sepasang
antena
terdapat pada salah satu ruas kepala di atas mulut yang dapat digerak-gerakkan.
Antena merupakan alat penting yang berfungsi sebagai alat perasa dan alat
pencium. Ruas pertama antena yang disebut skapus melekat pada kepala. Ruas
kedua disebut pedisel dan ruas-ruas berikutnya secara keseluruhan disebut
flagelum. Bentuk dan ukuran antena serangga sangat beragam.
Gambar 3. Variasi bentuk antenna seranga
Berdasarkan bentuknya antena serangga dapat
dibedakan menjadi 14 tipe yaitu :
1. Filiform : menyerupai tambang, tiap-tiap
segmen yang membentuk antena ukurannya sama, misalnya antena pada Valanga sp.
(Orthoptera).
2. Moniliform : seperti manik-manik,
ruas-ruas antena berukuran sama dan berbentuk bulat, misalnya Rhysodidae.
3. Setaseous : seperti rambut kaku (Seta),
makin ke ujung ruas-ruas antena maakin ramping, misalnya Isoptera.
4. Clavate : seperti moniliform tapi agak
membesar kebagian ujungnya, misalnya Coccinellidae.
5. Capitate : seperti clavate tetapi
perbesaran ruas-ruas terakhir tiba-tiba membesar, misalnya Nitidulidae.
6. Serate : tiap-tiap segmennya berbentuk
seperti gigi, misalnya Elateridae.
7. Geniculate : segmen pertama berukuran
panjang diikuti oleh satu segmen yang lebih kecil yang membentuk sudut dengan
segmen pertama, misalnya Formicidae.
8. Pectinate : setiap segmen memanjang ke
arah samping seperti sisir, misalnya Pyrochoroidae.
9. Bipectinate : setiap segmen memiliki satu
pasang rambut.
10. Stylate : segmen terakhir runcing dan agak
panjang, misalnya Asilidae.
11. Aristate : seakan-akan dari segmen antena
keluar lagi antena, misalnya Muscidae.
12. Plumose : setiap segmen berambut lebat dan
panjang, misalnya nyamuk jantan.
13. Lamellate : segmen paling ujung membesar
dan menjadi lempengan, misalnya Scarabaidae.
14. Flabellate : semua segmen setelah pedicel
bentuknya seperti lempengan, misalnya Rhipiceridae
3.
Alat Mulut
Secara
umum alat-alat mulut serangga terdiri dari :
1. Labrum (bibir atas)
2. Sepasang mandibel (geraham pertama)
3. Sepasang maksila (geraham kedua)
4. Labium (bibir bawah)
5. Epifaring (lidah)
Bagian–bagian mulut serangga dapat diklasifikasikan menjadi
dua tipe umum, mandibulata (pengunyah) dan haustelata (penghisap).
1. Tipe alat mulut pengunyah, mandibel
bergerak secara transversal yaitu dari sisi ke sisi, dan serangga tersebut
biasanya mampu menggigit dan mengunyah makanannya.
2. Tipe mulut penghisap memiliki
bagian-bagian dengan bentuk seperti probosis yang memanjang atau paruh dan
melalui alat itu makanan cair dihisap. Mandibel pada bagian mulut penghisap
mungkin memanjang dan berbentuk stilet atau tidak ada.
Beberapa tipe alat mulut
serangga yaitu :
1. Tipe alat mulut menggigit mengunyah.
a. Labrum, berfungsi untuk memasukkan makanan
ke dalam rongga mulut.
b. Epifaring, berfungsi sebagai pengecap.
c. Mandibel, berfungsi untuk mengunyah,
memotong, atau melunakkan makanan.
d. Maksila, merupakan alat bantu untuk
mengambil makanan. Maxila memiliki empat cabang, yaitu kardo, palpus, laksinia,
dan galea.
e. Hipofaring, serupa dengan lidah dan tumbuh
dari dasar rongga mulut.
f. Labium, sebagai bibir bawah bersama bibir
atas berfungsi untuk menutup atau membuka mulut. Labium terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu mentum, submentum, dan ligula. Ligula terdiri dari sepasang glosa
dan sepasang paraglosa.
Contoh
serangga dengan tipe alat mulut menggigit mengunyah yaitu ordo Coleoptera,
Orthoptera, Isoptera, dan Lepidoptera.
2. Tipe alat mulut mengunyah dan menghisap
Tipe
alat mulut ini diwakili oleh tipe alat mulut lebah madu Apis cerana
(Hymenoptera, Apidae) merupakan tipe kombinasi yang struktur labrum dan
mandibelnya serupa dengan tipe alat mulut menggigit mengunyah, tapi maksila dan
labiumnya memanjang dan menyatu. Glosa merupakan bagian dari labium yang
berbentuk memanjang sedangkan ujungnya menyerupai lidah yang berbulu disebut
flabelum yang dapat bergerak menyusup dan menarik untuk mencapai cairan nektar
yang ada di dalam bunga.
3. Tipe alat mulut menjilat mengisap.
Tipe
alat mulut ini misalnya pada alat mulut lalat (Diptera). Pada bagian bawah
kepala terdapat labium yang bentuknya berubah menjadi tabung yang
bercelah. Ruas pangkal tabung disebut rostrum dan ruas bawahnya disebut
haustelum. Ujung dari labium ini berbentuk khusus yang berfungsi sebagai
pengisap, disebut labellum.
4. Tipe Alat Mulut Mengisap.
Tipe
alat mulut ini biasanya terdapat pada ngengat dan kupu-kupu dewasa
(Lepidoptera) dan merupakan tipe yang khusus, yaitu labrum yang sangat kecil,
dan maksila palpusnya berkembang tidak sempurna. Labium mempunyai palpus labial
yang berambut lebat dan memiliki tiga segmen. Bagian alat mulut ini yang
dianggap penting dalam tipe alat mulut ini adalah probosis yang dibentuk oleh
maksila dan galea menjadi suatu tabung yang sangat memanjang dan menggulung
5. Tipe Alat Mulut Menusuk Mengisap
Kepik,
mempunyai alat mulut menusuk mengisap, misalnya Scotinophara
(Heteroptera). Alat mulut yang paling menonjol adalah labium, yang
berfungsi menjadi selongsong stilet. Ada empat stilet yang sangat runcing yang
berfungsi sebagai alat penusuk dan mengisap cairan tanaman. Keempat
stilet berasal dari sepasang maksila dan mandibel ini merupakan suatu perubahan
bentuk dari alat mulut serangga pengunyah.
2.
Morfologi Torak dan Abdomen
Bagian dari tubuh serangga
antara kepala dan abdomen adalah thoraks terdiri dari tiga segmen atau ruas yaitu protoraks,
mesotoraks, dan metatoraks. Ketiga bagian toraks tersebut memiliki sepasang
tungkai, sedangkan mesothoraks dan metatoraks masing-masing memiliki sepasang
sayap. Pada setiap sisi mesotoraks dan metathoraks terdapat sebuah
spirakel.
Protoraks, mesotoraks dan
metatoraks masing-masing bagian atasnya terdiri dari notum dan bagian bawahnya
disebut sternum. Notum untuk prothoraks disebut pronotum, dan notum untuk
mesothoraks dan metathoraks masing-masing disebut mesonotum dan metanotum.
Pronotum terbagi lagi atas preskutum, skutum, skutelum dan postkutelum,
mesonotum dan metanotum masing-masing terbagi atas epimeron dan episternum.
1.
Sayap
Serangga
dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok berdasarkan kepemilikan sayap,
yaitu kelompok serangga bersayap (Pterygota) dan kelompok serangga tidak
bersayap (Apterygota). Sayap merupakan tonjolan integumen dari bagian mesopleuron
dan metapleuron. Sayap diperkuat oleh satu deretan rangka-rangka sayap yang
bersklerotisasi, yang mengandung syaraf, trakea, dan hemolimf. Permukaan atas
dan bawah sayap terbuat dari bahan kitin tipis. Bagian tertentu dari sayap tampak seperti garis-garis tebal yang
disebut pembuluh sayap. Bagian sayap yang dikelilingi oleh pembuluh sayap
disebut sel.
2.
Tungkai-Tungkai Thoraks
Tungkai
serangga terdapat pada prototaks, mesatoraks dan metatoraks yang masing-masing
disebut tungkai depan, tungkai tengah dan tungkai belakang. Tungkai serangga terdiri dari enam ruas yang terdiri dari
:
a. Koksa, yang merupakan bagian yang melekat
langsung pada thoraks
b. Trokanter, bagian kedua dari ruas tungkai
berukuran lebih pendek dari pada koksa dan sebagian bersatu dengan ruas ketiga
c. Femur, merupakan ruas yang terbesar
d. Tibia, ukurannya lebih ramping tetapi
hampir sama panjang dengan femur pada bagian ujung tibia biasanya terdapat
duri-duri atau taji.
e. Tarsus, terdiri dari 1-5 ruas
f. Pretarsus, ruas terakhir dari tungkai,
terdiri dari sepasang kuku tarsus dan diantaranya terdapat struktur seperti
bantalan yang disebut arolium.
a.
Saltatorial : Tungkai belakang belalalng yang digunakan untuk meloncat,
dengan bentuk femur tungkai belakang lebih besar bila dibandingkan dengan femur
tungkai depan dan tungkai tengah. Contoh : Valanga nigricornis (belalang)
b.
Raptorial : Tungkai depan digunakan untuk menangkap dan memegang
mangsa, sehingga ukurannya lebih besar bila dibandingkan dengan tungkai yang
lainnya. Contoh : Stagmomantis carolina (belalang sembah)
c.
Kursorial : Tungkai ini digunakan untuk berjalan cepat atau berlari.
Contoh : Periplaneta australasiae (kecoa)
d. Fosorial : Tungkai depan berubah
bentuk sebagai alat penggali tanah. Contoh : Gryllotalpa africana
(orong-orong)
e.
Natatorial : Tungkai jenis ini terdapat pada serangga air yang
berfungsi untuk berenang. Contoh : Hydrophilus triangularis (kumbang air)
f.
Korbikulum : Tungkai tipe ini berfungsi untuk mengumpulkan tepung
sari. Contoh : Apis cerana (lebah madu)
B. Aatomi Dalam Dan Fungsi
1.
Sistem Pencernaan
a.
Saluran Pencernaan
Saluran
makanan serangga
terdiri dari tiga bagian dengan katup-katup (sphincters, volves).Bagian
terdepan disebut stomodeum atau usus depan (foregut), usus tengah (midgut), dan
usus belakang (kindgut). Seluruh saluran makanan di bagian dalamnya dilapisi
selapis sel epitel, berkedudukan pada membran dasar. Stomodeum dan proktodeum
mempunyai lapisan kutikula sedang mesentron tidak.
b.
Stomodeum
Pada dasarnya stomodeum terbagi menjadi bagian-bagian sebagai berikut,
dari depan: faring (pharynx), oesofagus (oesophagus) dan tembolok (crop) yang
merupakan tempat penyimpanan makanan. Pada serangga yang memakan makanan padat
kerapkali ada organ penghalus (grinding organ) disebut proventrikulus
(proventriculus atau gizzard). Proventrikulus itu khususnya berkembang
baik pada serangga Ordo Orthoptera, misalnya belalang, lipas, cengkerik, dan
rayap.
c.
Mesenteron
Secara umum mesenteron terdiri dari dua bagian, yaitu dari depan
kantung gastrik (gastric caeca) dan ventrikulus (ventriculus). Mikrovili adalah
tonjolan-tonjolan halus berbentuk jari-jari. Mikrovili itu memperluas permukaan
sel-sel epitel yang berhubungan dengan makanan, untuk memfasilitasi penyerapan
nutrisi. Di ventrikulus, pada sebagian besar jenis serangga, terdapat membran
peritrofik yang memisahkan epitel dan makanan. Membran peritrofik melindungi
sel-sel epitel terhadap kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh abrasi atau
gesekan bahan makanan.
d.
Proktodeum
Bagian
awal (terdepan) proktodeum ditandai oleh tempat kedudukan tabung-tabung
Malpighi, kerapkali pada pilorus yang merupakan katup otot. Bagian
selanjutnya secara berurutan adalah ileum, kolon (colon) dan rektum (rectum).
Di ujung rektum terdapat anus (lubang pelepasan). Fungsi utama proktodeum
adalah absorpsi air, garam-garam dan bahan-bahan lain yang berguna.
Pencernaan sebagian besar
terjadi di mesenteron, yang sel-sel epitelnya memproduksi dan mensekresi
ensim-ensim pencernaan dan juga menyerap hasil pencernaan itu. Makanan
serangga terutama terdiri dari polimer karbohidrat dan protein. Beberapa enzim
yang umum ditemukan adalah protease, lipase dan karbohidrase, tetapi
kadang-kadang ada yang tidak umum, misalnya selulase yang terdapat pada
serangga penggerek kayu. Rayap bersimbiosis dengan protozoa (flagellata)
untuk mencerna selulosa yang dimakannya. Ada juga jenis-jenis serangga yang
mampu mencerna bahan-bahan yang relatif stabil seperti keratin yang merupakan
bahan pembentuk rambut dan bulu, misalnya jenis-jenis kumbang
Dermestidae. Ulat Galleria mellonella (waxmoth) memakan dan mencerna
lilin lebah. Ulat ini dapat menjadi hama pada peternakan lebah madu.
Mikroba di dalam saluran makanan mungkin juga memberikan tambahan nutrisi yang
diperlukan, misalnya vitamin dan sterol.
Nutrisi untuk keperluan
seluruh hidup serangga kerapkali dipenuhi pada waktu serangga berada pada tahap
pradewasa, karena imagonya kerapkali tidak makan, atau hanya makan untuk
mendapatkan air dan bahan untuk energi. Hal ini misalnya terjadi pada banyak
jenis Lepidoptera (kupu-kupu dan ngengat) dan jenis-jenis Hymenoptera terutama
kelompok parasitoid. Sebagai nutrisinya serangga umumnya memerlukan asam amino,
karbohidrat, lipida, vitamin, mineral, puru dan piridin (bahan inti sel) dan
air. Air didapatkan dari air yang terkandung dalam makanannya (tumbuhan
khususnya mengandung banyak air). Serangga yang memakan bahan yang relatif
kering, misalnya jenis-jenis serangga gudang, sebagian air didapat dari air
hasil metabolisme.
2.
Sistem Pernafasan
Serangga mempunyai sistem
tabung dalam atau sistem trakea, yang mengantarkan udara dari luar tubuh ke
sel-sel tubuh dan sistem itu melaksanakan respirasi atau pernafasan. Trakea
mengelompok-kelompok pada tiap ruas, dan mendapatkan udara dari luar melalui sepasang
bukaan pada sisi lateral tiap ruas; bukaan ini disebut spirakel (spiracles).
Spirakel berhubungan langsung dengan batang trakea utama (main tracheal trunk), yang biasanya ada
sepasang menjulur sepanjang tubuh. Pada tiap ruas, dari batang trakea itu
muncul beberapa trakea cabang, berpasangan dari batang kiri dan kanan. Umumnya
ada tiga trakea cabang yang muncul, yaitu :
a. cabang dorsal yang melayani pembuluh dorsal
dan otot-otot dorsal
b. cabang ventral atau cabang viseral
(visceral) yang melayani saluran makanan dan organ reproduksi
c. cabang ventral yang melayani otot-otot
ventral dan tali saraf.
Tabung-tabung halus pada
ujung-ujung trakea berukuran kapiler dan disebut trakeol, biasanya berdiameter
1m atau kurang. Trakeol itu berada di antara atau sekitar sel-sel jaringan
tubuh, dan merupakan bagian trakea yang fungsional dari sistem trakea. Pada
banyak serangga penerbang cepat sistem trakeanya mempunyai kantung-kantung
udara (air sacs); yang kerapkali adalah pelebaran dari batang
trakea. Kantung udara itu berfungsi sebagai kantung penyimpan
udara/oksigen. Pada sistem tertutup, spirakel-spirakel itu tidak
berfungsi atau tidak ada sama sekali. Pada umumnya, pada sistem trakea tertutup
ini, peran spirakel diganti oleh sistem jaringan trakeol yang terdapat di bawah
kulit atau di dalam organ khusus yaitu insang.
Semua binatang memerlukan
pembekalan energi dan umumnya mendapatkan energi melalui proses respirasi
(pernafasan). Respirasi terdiri dari pengambilan, transportasi dan
penggunaan oksigen oleh jaringan-jaringan dan pelepasan dan pembuangan limbah,
terutama dioksida dan lingkungannya disebut respirasi luar (eksternal), sedang
pertukaran gas di dalam sel disebut respirasi dalam (internal) atau metabolisme
respirasi. Respirasi luar pada hampir semua serangga dilaksanakan oleh sistem
trakea. Melalui sistem ini udara/oksigen dari luar diantarkan ke jaringan
dan sel-sel yang memerlukan. Pada serangga ukuran besar yang aktif, untuk
melancarkan proses pernapasan itu dibantu sedikit-banyak oleh ventilasi mekanis
dari trakea abdomen dan kantung-kantung udara yang dihasilkan oleh gerakan-gerakan
ritmik tubuh. Proses ini disebut ventilasi aktif. Analisis menunjukkan
bahwa seperempat dari jumlah CO2 yang terjadi karena respirasi lepas keluar
melalui permukaan tubuh. Hal ini karena gas CO2 dapat berdifusi melalui
jaringan binatang 35x lebih cepat daripada oksigen. Di depan juga telah disebut
bahwa pada serangga air terdapat insang. Respirasi dilakukan melalui alat
ini: oksigen dalam air berdifusi melalui kulit insang yang tipis dan masuk ke
sistem trakea sedangkan CO2 melalui difusi terlepas dari tubuh serangga melarut
dalam air.
3.
Sistem Peredaran Darah
Sistem peredaran darah terdiri dari darah atau
hemolimf dan organ-organ yang memfasilitasi sirkulasi atau peredaran darah.
Pada serangga tidak demikian; pada sebagian besar lintasannya hemolimf mengalir
melalui rongga tubuh, menggenangi organ-organ dan jaringan. Sistem ini disebut
sistem terbuka.
Peredaran darah pada serangga diatur oleh sistem
pompa otot-otot melalui rongga-rongga dalam tubuh yang dipisahkan oleh septa.
Pada sebagian besar serangga, hemosel terbagi menjadi beberapa rongga (sinus)
oleh septa atau diafragma. Aorta adalah tabung ramping yang mengantarkan darah
ke kepala, bermuara di belakang atau di bawah otak. Organ denyut juga ditemui
di toraks, yang memelihara peredaran darah di pembuluh sayap. Dari uraian di
atas peredaran darah pada serangga secara umum dapat disimpulkan sebagai
berikut : Hemolimf dari abdomen dipompa oleh jantung ke aorta kemudian ke
kepala kemudian ke jaringan-jaringan lalu ke abdomen, dan siklus dimulai lagi.
a.
Hemolimf
Hemolimf adalah cairan bening, tidak berwarna atau kunig-pucat atau
hijau pucat dan biru karena mengandung pigmen. Pada beberapa serangga akuatik
pradewasa dan larva lalat parasit dalam (endoparasitik), berwarna merah karena
adanya hemoglobin. Pada nimfa dan imago hemolimf itu biasanya kurang dari 20%
berat badannya. pH hemolimf adalah 6-7 pada umumnya tetapi ada yang sampai pH
7-7.5. Hemolimf serangga dicirikan oleh konsentrasi yang tinggi dari
fosfat organik dan asam-asam amino. Kandungan dan komposisi kimiawi itu
bervariasi tergantung dari jenis, umur, keadaan fisiologi, kelamin (seks),
makanan dan sebagainya. Sel-sel hemolimf atau hemosit (haemocytes) ada beberapa
tipe (terutama plasmatosit, cystocyt dan sel granular), semuanya mempunyai empat
fungsi inti, yaitu :
1.
fagositosis,
“memakan” partikel-partikel dan bahan, misalnya metabolit.
2.
pengkapsulan
(encapsulation), “membungkus” parasit dan bahan asing yang berukuran relatif
besar.
3.
koagulasi
hemolimf.
4.
penyimpanan dan
distribusi nutrisi.
Dua tipe sel lain yang terdapat di dalam hemosel :
Nefrosit (nephrocytes), yang berfungsi sebagai kelenjar tanpa saluran yang
menjaring hemolimf dari bahan-bahan tertentu dan dimetabolisme untuk
dimanfaatkan atau dibuang di tempat lain. Yang kedua, oenosit (oenocytes),
fungsinya tidak jelas, tetapi kelihatannya berperan dalam sintesis parafin
kutikula.
Fungsi dari Hemolomf, yaitu :
1.
Sebagai pelumas
(lubricant): melancarkan gerakan antar organ
2.
Sebagai medium
hidraulik: pada proses ganti kulit; pada proses imago lalat keluar dari
puparium dengan dorongan ptilinum; penjuluran embelan, misalnya pada proses
perentangan sayap waktu imago keluar dari pupa.
3.
Transportasi nutrisi dan bahan limbah:
nutrisi diserap oleh darah dari sistem pencernaan dan diantarkan ke jaringan-
jaringan yang memerlukan. Limbah metabolisme diangkut dari
jaringan-jaringan oleh darah ke organ-organ ekskretori. Selain itu
hormon-hormon dibawa oleh darah ke tempat-tempat hormon itu bekerja.
4.
Organ
perlindungan dalam fagositosis, pengkapsulan (encapsulasi), detoksifikasi bahan
beracun, misalnya insektisida, hemostasis, yaitu penghentian perdarahan melalui
koagulasi dan presipitasi plasma, penyembuhan luka, perlindungan non-seluler.
5.
Transfer panas.
Mentransfer panas dari satu bagian tubuh ke bagian lain.
4. Sistem Ekskresi
Fungsi sistem
ekskretori adalah
pemeliharaan keseimbangan lingkungan dalam (internal). Karena hemolimf
menggenangi jaringan dan organ serangga, maka cairan itu menentukan sebagian
besar keadaan lingkungan dalam (internal). Sistem ekskretori bertanggung jawab
terhadap pemeliharaan uniformitas hemolimf. Untuk melaksanakan fungsi ini
sistem itu membuang limbah metabolisme dan bahan-bahan yang berlebihan,
terutama yang mengandung nitrogen, serta mengatur kendungan garam dan air.
Organ ekskretori yang utama adalah Tabung Malpighi; jaringan-jaringan lain
diperkirakan mempunyai peran bantuan (subsidiary role).
a.
Tabung Malpighi
Letak organ ini di dalam tubuh serangga telah disebut di depan, yaitu
pada saluran makanan di awal proktodeum. Penemunya bernama Marcello Malpighi,
seorang ilmuwan Itali yang hidup di abad ke-7. Jumlah tabung organ ini beragam
tergantung jenis serangganya, antara dua sampai lebih dari 250 dan umumnya
berbelit (convoluted); jumlah tabung itu selalu kelipatan dua (berarti
berpasangan). Jenis-jenis Collembola dan kutudaun (Aphididae, Homoptera) tidak
mempunyai tabung Malpighi. Tabung-tabung itu bebas berada di rongga tubuh
digenangi oleh hemolimf.
Keadaan lingkungan yang berbeda memberikan masalah berbeda yang
berkaitan dengan garam dan air dalam tubuh serangga. Tergantung dari
lingkungannya (basah, air, kering) dan makanannya (banyak mengandung air,
kering) pengaturan air tubuh dan garam-garam dapat berbeda. Pada serangga
darat (terjadi kehilangan air tubuh melalui penguapan dari permukaan tubuh dan
pembuangan feses, justru serangga harus membuang kelebihan air yang terserap
melalui kulitnya dan dari makanannya, sekaligus harus menjaga supaya
garam-garam tidak ikut terbuang. Pada sebagian besar serangga pengaturan
keseimbangan lingkungan internal, setidak-tidaknya sebagian, dilaksanakan oleh
tabung Malpighi dan rektum.
Ada beberapa sistem perputaran (cycling sistem) bahan yang menyangkut
tabung Malpighi dan rectum, yaitu :
1.
Tipe
sederhana: tabung hanya berdinding selapis sel yang berisi cairan.
Cairan ini mengalir ke proktodeum bercampur dengan isi saluran
pencernaan. Setelah campuran itu sampai di rektum, air dan garam-garam
yang masih diperlukan diserap kembali dan masuk ke hemolimf. Tipe ini
terdapat pada jenis-jenis Orthoptera.
2.
Tipe yang lebih
kompleks: pada tipe ini gerakan bahan masuk ke dalam tabung Malpighi
terjadi di bagian distal tabung; penyerapan kembali air dan garam yang masih
diperlukan terjadi di daerah proksimal tabung dan di rektum. Tipe ini
terdapat pada jenis-jenis Hemiptera.
3.
Tipe ketiga:
khas terdapat pada kumbang, yaitu bagian distal tabung-tabung Malpighi terbenam
dalam jaringan yang mengelilingi rektum. Penyerapan bahan terjadi di
bagian tabung yang bebas sedang penyerapan kembali bahan yang masih diperlukan
terjadi di bagian tabung yang terbenam dalam jaringan rektum. Pengaturan
model ini disebut sebagai pengaturan kripto nefridial (crypto
nephridial). Pengaturan model ini juga terdapat di ordo Lepidoptera,
dengan perbedaan bahwa penyerapan kembali bahan selain di rektum juga terjadi
di bagian proksimal tabung-tabung.
b.
Ekskresi Nitrogen
Banyak serangga predator, pengisap darah dan bahkan pemakan tumbuhan
mendapatkan nitrogen berlebihan dari yang diperlukan, berasal dari protein,
asam amino dan asam nukleat. Asam urat adalah limbah nitrogen utama dan
merupakan 80% atau lebih limbah nitrogen serangga darat khususnya. Untuk
pembuangannya tidak memerlukan banyak air, sehingga cocok untuk serangga darat.
Amoniak (NH4) adalah limbah nitrogen utama serangga air dan lalat hijau
(Calliphoridae). Bentuk limbah nitrogen lain pada serangga adalah alantoin,
asam alantoik dan urea. Tabung Malpighi adalah organ utama yang berperan dalam
pembuangan (ekresi) limbah nitrogen, namun jaringan lain sedikit-banyak
berperan juga, tergantung dari jenis serangganya. Serangga juga membuang limbah
nitrogen dalam bentuk urin. Sifat, komposisi, dan bentuknyanya sangat beragam.
Ada yang berbentuk powder yang terdapat pada serangga darat yang hidup di
lingkungan kering, dan yang berbentuk cairan bening pada serangga air.
REPRODUKSI DAN PERTUMBUHAN
1.
Sistem Reproduksi
Sebagian besar serangga membiak secara seksual, bagian yang lain secara
aseksual atau partenogenetik. Sistem reproduksi jantan berfungsi memproduksi
dan menyampaikan atau mengantarkan spermatozo. Sedangkan sistem reproduksi
betina berfungsi memproduksi dan menyimpan telur, menyimpan spermatozoa,
sebagai tempat pembuahan, dan meletakkan telur atau melahirkan larva atau
nimfa.
a. Sistem
Reproduksi Jantan.
Sistem reproduksi
jantan terdapat di
bagian belakang abdomen, terdiri dari dari sepasang gonad yang disebut sebagai
testes (ganda; testis = tunggal), yang dihubungkan oleh tabung-tabung yang
bermuara dalam aedeagus atau penis. Pada dasarnya sistem ini sama pada semua
serangga, meskipun bervariasi menurut jenisnya. Testis ada sepasang (dua),
bilateral, namun ada yang menyatu (fusi) di tengah (misal pada Lepidoptera).
Tiap testis terdiri dari sejumlah folikel, terbungkus oleh jaringan alat
(connective tissue). Tiap folikel terbungkus oleh selapis sel-sel epitel.
Spermatogenesis atau produksi spermatozoa terjadi di dalam folikel, oleh
sel-sel lembaga (germ cells) melalui pembagian sel meiosis. Tiap folikel dari
ujung sampai pangkalnya dapat dibagi dalam beberapa zona yang menunjukkan
fase-fase spermatogenesis :
1.
Bagian paling
ujung adalah germarium atau zona spermatogenia terdiri dari sel-sel lembaga
atau spermatogenia.
2.
Zona pertumbuhan
atau zona spermatosit : pada bagian ini spermatogenia membagi secara mitosis
beberapa kali membentuk spermatosit primer berkelompok-kelompok terbungkus oleh
sel-sel somatik.
3.
Zona reduksi
dan pematangan : di bagian ini spermatosit primer (2n) mengalami meiosis
(2n ® 1n) menjadi sel-sel haploid, menghasilkan spermatosit sekunder.
Spermatosit sekunder ini kemudian menjadi spermatik.
4.
Zona terakhir
(pangkal folikel) adalah zona transformasi : di sini spermatid berkembang
menjadi spermatozoa.
Gambar 4.
Alat reproduksi serangga jantan
b. Sistem Reproduksi Betina
Sistem reproduksi
betina terdiri dari
sepasang gonand atau ovari (ovary), yang dihubungkan oleh tabung-tabung ke
vagina yang mempunyai bukaan di luar. Ovari memproduksi telur dan terdiri dari
beberapa sampai banyak ovariol, yang merupakan unit yang fungsional. Pada ujung
ovari terdapat benang terminal (terminal filament) yang merupakan kumpulan dari
benang-benang ovariol. Pada dasar ovariol ada saluran pendek-kecil disebut
pedisel (pedicel). Tiap ovariol dari ovari (satu ovari) bermura di kaliks
(calyx) dan kaliks berhubungan dengan saluran telur lateral (lateral
duct). Dua saluran telur lateral, masing-masing dari ovari kiri dan
kanan, bertemu menyatu di saluran telur bersama (common oviduct). Saluran telur
bersama berhubungan dengan bursa kopulatriks (bursa copulatrix) atau vagina
yang mempunyai bukaan di luar. Spermateka (spermatheca) atau kantung sperma
umumnya tidak berpasangan, bermuara di vagina atau saluran telur bersama.
Kelenjar penyerta dapat berpasangan atau hanya satu juga bermuara di vagina
atau di saluran telur bersama. Umumnya memproduksi bahan likat untuk
menempelkan telur pada substrat atau bahan pembungkus telur-telur menjadi paket
telur, misalnya ooteka belalang sembah (Mantidae), belalang lapangan
(Acrididae) dan lipas (Blattidae).
Oogenis merupakan pembentukan telur terjadi di dalam ovariol. Proses
oogenesis ini dapat terselesaikan sebelum atau sesudah serangga menjadi imago.
Germarium terdapat di ujung ovariol dan vitelarium di pangkalnya. Germarium
mengandung sel-sel lembaga disebut oogonia yang membagi diri secara
mitosis dan menjadi oosit nantinya. Tiap oosit yang sedang berkembang
diselubungi oleh sel epitel folikel; oosit dan lapisan sel epitel itu adalah
folikel. Jika sel telur telah matang maka telur itu bergerak ke luar dari
ovariol; proses ini disebut ovulasi. Sel-sel epitel tertinggal di dalam ovariol
dan akhirnya hancur.
Gambar 5. Alat reproduksi serangga batina
2.
Telur dan Pembuahan
Telur yang matang diletakkan, dan bentuknya beragam mulai dari yang
pipih, bulat telur (oval), seperti tong sampai bulat. Sebagian besar telur
bagian terbesar telur terisi oleh kuning telur (yolk) atau deutoplasma
(deutoplasm), sitoplasma dan inti hanya menempati bagian kecil dari telur.
Kuning telur mengandung karbohidrat, protein dan lipida. Protein adalah bagian
yang terbanyak. Sitoplasma terdapat di sekitar inti (sitoplasma inti) dan
sekitar tepi kuning telur (periplasma atau sitoplasma korteks = cortical
cytoplasm). Telur dapat terbungkus oleh dua membran: membran vitelin yang
merupakan membran sel telur dan korion (chorion) atau kulit telur. Korion
berfungsi seperti kutikula pada serangga betinanya, melindungi terhadap
gangguan fisik, terhadap penguapan air, dan juga untuk ventilasi (pernapasan)
telur. Telur-telur jenis serangga tertentu yang diletakkan
di tempat lembab dapat
menyerap air dari lingkungannya. Spermatozoa dapat masuk ke dalam telur melalui
satu atau lebih saluran khusus disebut mikropil, yang merupakan perforasi, pada
korion yang terdapat di bagian tertentu dari telur. Pembuahan telur terjadi
setelah ovulasi, dimulai dengan transfer sperma dari serangga jantan ke
serangga betina di dalam sistem reproduksinya pada waktu kopulasi. Sperma yang
ditransfer itu bebas atau dalam spermatofor. Spermatofor biasanya diletakkan
dalam bursa kopulatriks atau vagina, jarang di dalam spermateka. Spermatozoa,
apapun kondisinya waktu ditransfer ke serangga betina akhirnya berkumpul di
spermateka. Proses pembuahan adalah sebagai berikut:
1.
pelepasan
sejumlah spermatozoa dari spermateka.
2.
masuknya spematozoa ke dalam telur melalui
mikropil (micropyle).
3.
fusi pronuklei telur dan spermatozoa menjadi
zigot.
3.
Penentuan Kelamin dan Pembiakan
Partenogenetik
Hampir semua serangga adalah biseksual: organ reproduksi atau organ
seks jantan dan betina masing-masing terdapat pada individu yang berbeda.
Berbagai spesies serangga dari kelompok berbeda (misalnya famili Aphididae
(Hemiptera) dan famili-famili dari subordo Apocrita (Hymenoptera)) dapat
berbiak partenogenetik (tanpa ada pembuahan telur). Ada juga serangga
hermafrodit (hermaphrodite), yaitu organ jantan dan betina terdapat pada satu
individu. Kutu putih Icerya purchasi dan beberapa jenis kerabatnya adalah
jenis-jenis yang sudah dipastikan hermafrodit. Penentuan kelamin (seks) pada
serangga seksual tergantung dari keseimbangan antara gen-gen sifat jantan dan
gen-gen sifat betina. Pada sebagian besar kelompok serangga jantan adalah
heterogamet dan betina homogamet.
4.
Embriogenesis (Perkembangan Embrio)
Embriogenesis mencakup perkembangan sejak terjadinya zigot dan
keluarnya individu yang sudah berkembang penuh dari telur. Proses individu
keluar dari telur ini disebut penetasan atau eklosi (eclosion).
Morfogenesis adalah perkembangan sejak terjadi zigot sampai menjadi serangga
dewasa. Embriogenesis antara kelompok-kelompok serangga beragam, ulasan umumnya
dapat disajikan sebagai berikut.
Lapisan sel pertama yang terbentuk adalah
blastoderm, yang terdiri dari lapis tunggal sel-sel, yaitu blastomer. Proses
terbentuknya blastomer berbeda pada satu jenis binatang dengan jenis yang
lainnya, hal ini berhubungan dengan banyaknya bahan kuning telur di dalam
telur. Namun pada sebagian besar serangga, telurnya mempunyai bahan
kuning telur yang banyak. Pada kebanyakan serangga nukleus yang berfungsi
dengan sitoplasmanya, berperilaku seperti individu sel dan membelah diri
(cleavage) secara mitosis. Nukleus-nukleus baru yang terjadi bergerak ke
daerah tepi telur dan membentuk blastoderm. Selama proses itu berlangsung, tiap
nukleus membentuk sel lengkap dengan selaput selnya.
Sel-sel hasil pembelahan di atas sebagian tetap di
bagian kuning telur, atau sebagian yang sudah di tepi kembali ke kuning telur;
sel-sel ini disebut vitofag (vitellophages) atau sel-sel kuning telur (yolk
cells). Vetelofag ini berperan dalam pencernaan awal kuning telur,
sehingga memudahkan pengasimilasian oleh sel-sel embrio lain.
Pada waktu bersamaan terjadinya blastoderm,
beberapa sel hasil pembelahan berubah menjadi sel-sel lembaga yang nantinya
berkembang menjadi gamet atau sel-sel reproduktif pada tahap larva tua, pupa
atau dewasa.
Setelah pembentukan blastoderm selesai, sel-sel
pada satu sisi telur berubah bentuk menjadi kolumnar (columnar) (artinya
seperti tiang besar) sepanjang garis tengah-longitodinal telur, ke arah dua
sisi dari garis ini sel-sel itu secara berurutan kurang kolumnar, akhirnya
bersatu dengan sel-sel blastoderm yang tersisa, yang cenderung menjadi pipih
(sequamous). Daerah yang menebal dari blastoderm terdiri dari sel-sel
kolumnar itu adalah pita lembaga (germ band), yang kemudian memanjang dan
berkembang menjadi embrio. Sel-sel lain ikut dalam pembentukan selaput
atau membran ekstraembrio. Pada sebagian besar serangga lipatan pada
daerah di luar pita lembaga tumbuh ke arah atas pita lembaga, nantinya bertemu
sepanjang garis tengah longitudinal. Lapis luar dan dalam dari satu
lipatan bersatu dengan lapis yang sama dan lipatan lainnya. Lipatan dalam
membentuk amnion (amnion) di sekeliling embrio yang berkembang dan lapis luar
membentuk serosa yang mengelilingi kuning telur, ammon dan embrio. Pada
beberapa serangga selaput ekstraembrio terbentuk dari invaginasi (Apterigota)
atau involusi embrio (Odonata, beberapa Orthoptera dan Homoptera).
Pada waktu pembentukan ammnion dan serosa, terjadi
juga proses gastrulasi, yang dimulai dengan invaginasi (melekuk ke dalam)
bagian bawah (venter) pita lembaga. Nantinya invaginasi itu mendatar ke
arah keluar dan pinggir-pinggir luarnya bertemu dan bersatu membentuk pita
longitudinal dari sel-sel (lapis dalam atau mesentoderm) yang dikelilingi oleh
lapis luar, disebut ektoderm. Tipe lain pembentukan lapisan dalam ialah
mengendapnya pita longitudinal bawah ke dalam kuning telur, yang kemudian
tertumbuhi oleh sel-sel pita lembaga yang tertinggal. Tipe yang lain
lagi, lapisan dalam itu berkembang dari proliferasi pita lembaga. Kemudian
lapisan dalam berkembang menjadi dua pita longitudinal lateral (mesoderm) dan
untingan tengah (median strands) dengan massa sel pada ujung anterior dan
posterior. Untingan tengah bagian massa sel di kedua ujungnya akan
menjadi endorm.
Pada tahap perkembangan ini -yaitu mulai adanya
mesoderm dan endorm -terjadi alur-alur melintang sehingga embrio terbagi-bagi
menjadi satu seri ruas-ruas, 20 jumlahnya. Segmentasi atau peruasan ini
adalah proses bertahap (gradual), mulai dari bagian depan dan berlanjut ke
belakang. Pada saat yang sama terjadi juga evaginasi ektoderm, yang
membentuk berbagai embelan (appendages) tubuh. Apabila segementasi embrio
itu telah sempurna dan semua dasar-awal (rudiments) dari embelan telah
terbentuk, bagian-bagian embrio yang akan membentuk ketiga tagmata tubuh
serangga sudah dapat terlihat. Setelah pembentukan tiga lapis lembaga
(germ layers) (endorm, mesoderm, ektoderm), masing-masing berkembang lebih
lanjut yang nantinya membentuk Otot-otot, jantung dan aorta (pembuluh dorsal,
jaringan lunak dan organ reproduksi berasal dari perkembangan mesoderm.
Mesenteron adalah endodermal, sedang stomodeum dan proktodeum ektodermal, otak,
sistem saraf, sistem trakea dan integumen juga ektodermal. berbagai jaringan
dan organ-organ. Proses ini disebut organogenesis.
5.
Strategi Reproduksi
Perkembangan
embrio pada serangga dapat dikelompokkan dalam tiga tipe utama, yaitu :
1. Ovivar
Serangga betina meletakkan telur yang telah matang baik dibuahi maupun
tidak. Perkembangan embrio terjadi diluar tubuh induknya dan embrio memperoleh
makanan dari kuning telur. Kebanyakan serangga memiliki perkembangan ovipar.
2. Vivivar
Pada
perkembangan vivipar serangga betina tidak meletakkan telur tapi melahirkan
larva atau nimfa muda dalam bentuk individu yang tidak terbungkus kulit telur
(korion) . Perkembangan embrio berlangsung dalam tubuh induknya dan embrio
memperoleh makanan langsung dari tubuh induknya.
3. Ovovivivar
Telur
mengandung cukup kuning telur untuk memberi makan embrio yang sedang berkembang
dan diletakkan oleh induknya segera setelah menetas. Istilah ovovivipar juga
digunakan untuk serangga-serangga yang meletakkan telur yang mengandung embrio
yang telah berkembang (telur telah siap menetas).
Istilah larvipar, nimfipar dan pupipar, menunjuk
pada bentuk individu baru yang dilepas oleh induknya. Lalat Tachinidae
ada yang larvipar, kutudaun di daerah panas adalah nimfipar, sedang lalat
tse-tse (Glossina spp., Muscidae) adalah pupipar. Pada lalat tse-tse ini
keturunan baru dilahirkan dalam fase larva yang sudah siap berpupa, sehingga
hanya dalam beberapa jam setelah dilepas oleh induknya sudah menjadi pupa.
Selain ketiga tipe utama di atas, serangga juga
memiliki beberapa tipe perkembangan embrio yang lain, yaitu :
1. Poliembrioni
Pada poliembrioni setiap telur yang sedang berkembang dapat membelah
secara mitosis dan menjadi beberapa sampai banyak embrio. Tipe perkembangan ini
biasanya terdapat pada Hymenoptera.
Telur pada serangga polimbrioni berbeda dari serangga non-poliembrioni,
sebagai berikut: telurnya sangat kecil,
tidak ada kuning telur, karion jika ada sangat tipis dan permeabel.
2. Paedogenesis
Serangga pradewasa memiliki alat kelamin yang telah matang dan dapat
menghasilkan keturunan. Beberapa jenis Coleoptera memiliki perkembangan
paedogenesis.
3. Parthenogenesis
Sel telur berkembang menjadi embrio tanpa mengalami pembuahan.
Partenogenesis dapat terjadi pada serangga ovipar maupun vivipar.
6.
Peletakan Telur dan Eklosi
Peletakan telur (oviposition) terjadi setelah telur matang dan terjadi
ovulasi. Telur umumnya diletakkan di tempat-tempat yang sesuai untuk
kehidupan keturunan. Telur dapat diletakkan dalam kelompok atau
satu-satu, tergantung spesiesnya. Organ atau struktur untuk peletakan
telur dapat terdiri dari embelan-embelan khusus yang membentuk alat peletak
telur atau ovipositor, atau abdomen dimodifikasi demikian rupa sehingga dapat
dijulurkan seperti tabung sehingga berfungsi sebagai ovipositor. Struktur
ini umum disebut ovitubus dan dapat ditemui pada trips (Thysanoptera), lalat
(Diptera) dan lainnya. Ovipositor itu tereduksi atau tidak ada pada
ordo-ordo berikut: Odonata, Plecoptera, Mellophaga, Anoplura, Ceoleoptera dan
ordo-ordo panorpoid (Mecoptera).
Telur diletakkan secara beragam, beberapa serangga
menyatukan telurnya secara pasif, misalnya pada Plasmida (walkingstick), yang
lain menempelkan telur pada substratnya satu-satu atau dalam kelompok.
Jenis-jenis Vrysopidae (Neuroptera) meletakkan telur dengan tungkai yang kaku
yang panjang; telur terdapat di ujung tangkai. Berbagai jenis serangga (belalang
lapangan, belalang sembah, lipas) meletakkan telur dalam paket, disebut ooteka
atau paket telur; dalam satu paket terdapat banyak telur. Bahan untuk
melekatkan telur atau untuk pembuatan paket berasal dari kelenjar penyerta
(accessory glands).
Serangga parasitoid menggunakan ovipositornya untuk
"menyuntikkan" telurnya dalam tubuh inangnya, pada serangga akuatik
telurnya diliputi oleh bahan gelatin. Serangga-serangga yang memarasit
mamalia kerapkali meletakkan telur pada rambut-rambut inangya.
Eklosi (eclosion) adalah proses penetasan atau
keluar dari telur; kadang-kadang diartikan sebagai munculnya imago dari fase
pradewasa. Eklosi umumnya melibatkan penegukan (swallowing) cairan amnion dan
difusi udara ke dalam telur. Masalah pada eklosi adalah peretakan korion
dan lapisan embrio lain serta melepaskan diri dari telur. Retakan dapat terjadi
pada permukaan telur secara tidak teratur atau pada garis yang lemah.
Pada beberapa serangga pelemahan lapisan embrio terjadi karena kerja ensim.
Berbagai struktur mungkin terlibat dalam meretakkan korion, yang dapat
berbentuk duri (spines) atau pundi-pundi (bladder) yang eversibel (eversible)
atau melibatkan kekuatan ekspansi dari bagian tubuh, karena kontraksi, yang
dibantu oleh penegukan cairan amnion dan udara (lihat di atas). Beberapa
serangga seperti pada Lepidoptera larva menggerigit kulit telur untuk keluar.
7.
Perkembangan Serangga (Pascaembrio)
Perkembangan pascaembrio adalah perkembangan sejak eklosi sampai
munculnya serangga dewasa. Serangga mempunyai kerangka
luar yang tidak memungkinkan pertumbuhan memperbesar tubuh (ukuran
tubuh). Masalah ini diatasi dengan proses ganti kulit (molting) atau
ekdisis. Serangga pradewasa yang baru keluar dari telur berkembang melalui satu
seri pergantian kulit, dan bertambah ukurannya setelah tiap ganti kulit.
Tiap tahap perkembangan disebut instar.
Instar akhir, yang serangga itu sudah matang secara seksual dan
bersayap sempurna (pada jenis-jenis yang memang bersayap), adalah tahap dewasa
atau imago. Beberapa serangga (misalnya Thysanura) masih berganti kulit
setelah tahap dewasa, namun tidak bertambah besar.
Banyaknya instar
beragam di antara kelompok-kelompok serangga, namun sebagian besar antara 2 dan
20. Pertambahan bobot serangga yang baru keluar telur sampai menjadi
dewasa biasanya sungguh nyata. Sebagai contoh, larva instar akhir Cossus
cossus (Lepidoptera: Cossidae) bobotnya 72.000 x dari instar pertamanya, dan
memerlukan tiga tahun untuk mencapai instar akhir itu (C. cossus adalah
penggerek kayu). Pada kebanyakan yang lain biasanya sekitar 1.000 x atau lebih.
Proses perkembangan yang mengubah pradewasa instar pertama menjadi
dewasa disebut metamorfosis (metamorphosis), yang arti sebenarnya adalah
perubahan bentuk. Perubahan bentuk itu bisa
berangsur-angsur (gradual), yaitu bentuk pradewasa secara umum hampir sama
dengan bentuk dewasanya, atau tiba-tiba (abrupt), yaitu bentuk pradewasanya
sangat berbeda dengan dewasanya dan perubahan ini terjadi pada instar akhir
pradewasa.
Metamorfosis (perubahan bentuk) dikelompokkan dalam empat tipe, yaitu:
Pada tipe ini beberapa spesies serangga tidak memperlihatkan adanya
metamorfosis, maksudnya segera setelah menetas maka lahir serangga muda yang
mirip dengan induknya kecuali ukurannya yang masih kecil dan perbedaan pada
kematangan alat kelaminnya. Kemudian setelah tumbuh
membesar dan mengalami pergantian kulit, baru menjadi serangga dewasa (imago)
tanpa terjadi perubahan bentuk hanya mengalami pertambahan besar ukurannya
saja. Serangga
pra dewasa sering disebut dengan istilah gaead. Tipe metamorfosis ini
terdapat pada serangga dari ordo Collembola, ordo Thysanura, dan ordo Protura
Serangga yang mengalami perubahan bentuk secara paurometabola selama siklus hidupnya mengalami tiga stadia
pertumbuhan, yaitu stadia telur, nimfa dan imago.
Serangga
pradewasa disebut nimfa. Nimfa dan imago memiliki tipe alat mulut dan jenis
makanan yang sama, bentuk nimfa menyerupai induknya hanya ukurannya lebih
kecil, belum bersayap, dan belum memiliki alat kelamin. Serangga pradewasa
mengalami beberapa kali pergantian kulit, diikuti pertumbuhan tubuh dan sayap
secara bertahap. Serangga yang termasuk dalam tipe ini yaitu ordo Orthoptera,
Hemiptera, dan Homoptera.
Hemimetabola memiliki cara hidup yang hampir sama dengan paurometabola,
hanya habitat dari serangga pradewasanya berbeda dengan imagonya.
Stadia dalam
perkembangan hidupnya terdiri dari telur, naiad, dan imago. Serangga pradewasa disebut
dengan istilah naiad. Naiad hidup di air, dan mempunyai alat bernafas
semacam insang sedangkan habitat imago habitatnya di darat atau di udara.
Serangga yang
memiliki perkembangan hemimetabola adalah ordo Odonata (Capung).
Pada tipe ini serangga memiliki empat stadia selama siklus hidupnya,
yaitu telur, larva (ulat), pupa (kepompong), dan imago.
Serangga
pradewasa disebut larva, dan memiliki habitat yang berbeda dengan imagonya.
Larva merupakan
fase yang aktif makan, sedangkan pupa merupakan bentuk peralihan yang dicirikan
dengan terjadinya perombakan dan penyususunan kembali alat-alat tubuh bagian
dalam dan luar. Serangga yang memiliki perkembangan holometabola yaitu ordo
Lepidoptera, ordo
Coleoptera, ordo
Hymenoptera.
8.
Kontrol Hormonal dalam Pertumbuhan dan
Perkembangan
1. Ganti kulit
Untuk tumbuh dan berkembang menjadi besar maka tubuh serangga mengalami
proses ganti kulit. Pengelupasan kulit luar terjadi terlebih dahulu kemudian
diganti oleh kulit yang baru. Proses ini disebut dengan pergantian kulit
(ekdisis) dan kulit lama yang terlepas disebut eksuvia (exuviae). Proses
pergantian kulit ini terjadi dengan terbentuknya lapisan endokutikula baru yang
berada di bawah lapisan eksokutikula yang sudah mengeras. Sebelum kulit luar
atau kutikula yang lama mengelupas, epikutikula dan prokutikula yang baru telah
dipersiapkan oleh sel-sel hipodermis (sel-sel epidermis) yang ada dibawahnya,
kemudian sel-sel hipodermis mengeluarkan cairan hormon untuk melancarkan proses
pergantian kulit.Proses membesarnya tubuh serangga sampai ukuran tertentu terjadi
sebelum dinding tubuh atau kutikula baru mengalami proses pengerasan
(sklerotisasi). Serangga ketika pertama kali muncul dari kutikula lamanya akan
berwarna pucat, dan kutikulanya lunak. Dalam waktu satu atau dua jam,
eksokutikula mulai mengeras dan berwarna gelap. Kebanyakan seranggga
mengalami empat sampai delapan kali ganti kulit.
2. Metamorfosis
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, serangga berganti bentuk selama
perkembangan pasca-embrio, dan instar-instar yang berbeda tidak semuanya
serupa. Perubahan ini disebut metamorfosis. Perubahan selama metamorfosis
dilaksanakan oleh dua proses, histolisis dan histogenesis. Histolisis adalah
suatu proses di mana struktur-struktur larva terpecah hancur menjadi bahan yang
dapat digunakan dalam perkembangan struktur-struktur dewasa. Histogenesis
adalah proses perkembangan struktur-struktur dewasa dari produk-produk
histolisis. Sumber-sumber utama dari bahan untuk histogenesis adalah hemolimf,
lemak badan, dan jaringan-jaringan larut seperti urat-urat daging larva.
Metamorphosis serangga
dikontrol oleh 3 hormon, yaitu :
1.
PTTH (hormon
protorasikotropik)
PTTH diproduksi oleh sel-sel neurosekretorik di dalam otak dan
merangsang kelenjar-kelenjar protoraks untuk menghasilkan ekdison, yang
merangsang apolisis dan mendorong pertumbuhan.
2.
ekdison
3.
JH (hormon
juvenile
JH dihasilkan oleh sel-sel di dalam korpora
allata dan menghambat metamorfosis, jadi mendorong perkembangan lebih lanjut
larva atau nimfa. Korpora allata aktif selama instar-instar awal dan biasanya
berhenti menyekresi JH dalam instar pradewasa terakhir. Ketiadaan hormon dalam
instar ini mengakibatkan metamorfosis.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN
SERANGGA
A.
Faktor Dalam
Faktor dalam yang mempengaruhi tinggi rendahnya
populasi hama, antara lain :
1.
Kemampuan berkembang biak
2.
Perbandingan kelamin
3.
Sifat mempertahankan diri
B.
Faktor Luar
1.
Faktor fisik
a.
Suhu dan kisaran suhu
b.
Kelembaban/Hujan
c.
Cahaya/warna/bau
d.
Angin
2.
Faktor makanan
3.
Faktor hayati
a.
Predator
b.
Parasitoid
c.
Pathogen
d.
Kompetisi
PENGENDALIAN SERANGAN HAMA
A.
Pengendalian Dengan Undang-Undang
Salah satu usaha mencegah pemasukan, penyebaran, dan meluasnyaorganisme
penggangu tanaman berbahaya dari satu daerah kedaerah lain adalah dengan
peraturan atau tindakan karantina. Tindakan karantina adalah tindakan dari
pemerintah untuk mencegah masuknya atau tersebarnya organisme pengganggu
tanaman berbahaya dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Contoh peraturan perundang-undangan tersebut adala undang-undang No. 2 Taun
1961 tentang pengeluaran dan pemasukan Tanaman dan Bibit Tanaman, yang merpakan
landasan hokum pelaksanaan perkaratinaan tanaman di Indonesia. Undang-undang
tersebut bertujuan untuk mencegah masuknya atau meluasnya hama dan penyakit
yang telah diketahui atau mencegah hama dan penyakit baru kedalam suatu daerah.
Conth lain dari pengendalian denganperatuan adalah sertifikasi benih dan bibit.
B.
Pengendalian Dengan Kultur Teknis
Pengendalian ini adalah pengendalian serangan hama dengan memodifikasi
kegiatan pertanian tertentu agar lingkungan pertanian menjadi tidak
mengguntungkan bagi perkembangan serangga hama, tetapi tidak mengganggu persyaratan
pertumbuhan tanaman.sebelum melakukan pengendalian ini, sebelumnya kita harus
mengetahui cara hidup serangga hama yang akan dikendalikan.
Pada prinsipnya usaha yang dilakukan pada penggendalian ini adalah
semua cara penggendalian dengan memanfaatkan lingkungan guna menekan populasi
serangga hama. Usaha-usaha tersebut mencakup pengolahan tanah dan pengairan,
pergiliran tanaman, tumpang sari, pemupukan yang optimum, penanaman tanaman
perangkap, pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, saitasi, penggunaan
mulsa, dan penggunaan varietas lahan.
C.
Penggendalian Secara Fisik
Pengendalian ini dilakukan dengan tujuan secara langsung da tidak
langsung untuk membinasakan serangga hama sasaran. Pengendalian ini aman bagi
lingkungan dan kompatibel dengan teknik pengendalian lainnya, seperti kultur
teknik, hayati dan varietas lahan.
D.
Pengendalian Secara Hayati
Penggendalian ini adalah penggendalian serangga hama dengan cara
biologi yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya. Seperti predator,
parasit dan pathogen. Pengendalian ini dapat jua dikatakan sebagai pengaturan
populasi organism dengan musuh-musuh alam hingga kepadatan populasi organism
tersebut berada dibawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian.
E.
Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian ini adalah penggendalian serangga hama dengan menggunakan
banhan kimia beracun. Bahan kimia ini diberikan langsungketanaman makanan hama,
umapan, atau dikenakan langsung kepada serangga hama sasaran. Bahan kimia yang
biasa digunakan adalah Insekisida.
F.
Penggendalian ama Terpadu
Penggendalian ini adalah penggendalian serangga hama terapan yang
memadukan atau mengkombinasikan pengendalian hayati dan kimiawi. Penggunaan
pestisida hanya dilakukan apabila populasi hama meningkat dan berada diatas
ambang ekonomi. Dan andaikata populasi berada dibawah ambang ekonomi maka tidak
perlu dilakukan enggendalian secara kimiawi, karena pada saat itu penggendalian
hama mampu dilakukan oleh kompleks musuh alami seperti predator, parasitoid,
dan pathogen.
KLASIFIKASI SERANGGA
Contoh klasifikasi serangga:
Kerajaan - Hewan
Filum - Arthropoda
Kelas - Hexapoda (=
serangga)
Order - Lepidoptera (=
kupu-kupu dan ngengat)
Keluarga - Noctuidae (=
noctuids)
Genus - Helicoverpa
Spesies - Helicoverpa armigera
(= Hubner Amerika)
A.
Karakteristik kelas Hexapoda (Serangga)
Beberapa karakteristik serangga adalah:
1.
Body: Tubuh terbagi menjadi tiga wilayah yang berbeda: kepala, dada dan
perut
2.
Sepasang antenna : antena yang biasanya digunakan sebagai organ taktil
(= organ yang berkaitan dengan rasa sentuh) atau sebagai organ penciuman (=
organ penciuman).
3.
Mata: Kebanyakan serangga memiliki sepasang mata majemuk dan terkadang
beberapa mata sederhana yang disebut "ocelli".
4.
Mulut : Ada berbagai jenis besar di mulut, menggigit, mengisap,
menyengat, menjilati, dll
5.
Thorax: Tiga pasang kakinya. dada ini memiliki tiga segmen. Ini disebut
pro-dada, meso-dada dan meta-thorax. Setiap segmen memiliki sepasang kaki
tibia. berbeda Bagian dari kaki disebut coxa, trokanter, femur, dan Tarsus.
Catatan:
beberapa serangga yang berkaki, atau memiliki
kurang dari 6 kakinya. Beberapa larva memiliki-seperti pelengkap kaki pada
perut. Seringkali satu atau dua pasang sayap. Sayap ditanggung oleh kedua dan /
atau ketiga dari segmen dada.
Beberapa serangga yang tak bersayap.
6.
Abdomen : The gonopore (pembukaan kelamin) adalah pada bagian belakang
perut. Tidak pelengkap digunakan untuk bergerak di perut orang dewasa (kecuali
di beberapa serangga primitif). Terkadang ada beberapa pelengkap pada akhir
perut.
B.
Klasifikasi Hexapoda (Serangga)
Kelas hexapoda dibagi dalam dua subclass:
1.
Apterygota (= serangga bersayap primitif)
2.
Pterygota (= bersayap dan serangga bersayap yang kedua)
Kelas
Pterygota dibagi dalam dua divisi:
1.
Exopterygota (= serangga dengan metamorfosis sederhana, tanpa stadium pupa)
2.
Endopterygota (= dengan metamorfosis lengkap, termasuk tahap pupa)
MENGIDENTIFIKASI SERANGGA
Ketika mencoba untuk mengidentifikasi serangga
tidak diketahui pertama Anda akan selalu mencoba untuk menentukan Orde benar
nya. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan sebuah tombol. Anda akan
membutuhkan lensa tangan yang baik untuk mengamati beberapa bagian yang lebih
kecil serangga, misalnya untuk menghitung jumlah segmen di tarsi, atau untuk
melihat dari dekat antena. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut tentang
menggunakan kunci untuk mengidentifikasi pesanan serangga .
Petani biasanya akan mengklasifikasikan serangga
dalam 3 kelompok, tergantung pada perilaku mereka di ladang:
1.
Hama
Apakah spesies serangga adalah hama tergantung pada
situasi. Definisi dari "hama" adalah: binatang merusak atau jengkel
kepada manusia, binatang-nya, tanaman atau barang-barang, seperti serangga,
tungau, nematoda, tikus, burung. Yang berarti serangga tertentu bisa menjadi
hama dalam satu situasi, tetapi serangga yang sama akan bersikap netral dalam
situasi lain. Misalnya, ulat dari ngengat Diamondback (Plutella xylostella)
memakan kubis dan tanaman lainnya dari keluarga Cruciferae. Seorang petani yang
tumbuh kembang kol atau kale Oleh karena itu akan menganggapnya sebagai hama.
Tetapi bagi seorang petani yang tumbuh kentang atau pisang ngengat Diamondback
adalah netral, serangga tidak bersalah.
2.
Bermanfaat serangga
Beberapa serangga bermanfaat bagi petani, karena
mereka adalah musuh alami serangga lainnya. Predator serangga memakan serangga
lain dan dengan cara ini mereka membantu mengendalikan hama serangga. Sebagai
contoh bug Assassin membunuh ulat dan kumbang kumbang kecil pemakan kutu daun.
serangga lain yang bermanfaat karena mereka membantu penyerbukan tanaman, misalnya
lebah lebah dan menggagap. Ada serangga yang menghasilkan produk yang
bermanfaat, misalnya madu (lebah madu) atau sutra (ulat). Dan di banyak negara
serangga digunakan sebagai makanan.
3.
Netral serangga
Jika serangga bukan hama dan tidak menguntungkan
dari yang kita dapat menyebutnya netral. Tetapi sekali lagi, benar-benar
tergantung pada konteksnya. Dalam sawah nyamuk dapat dianggap sebagai serangga
netral (tidak membahayakan tanaman), tapi di kamar tidur Anda, Anda akan
menyebutnya sebagai hama.
MENGGELOLA HAMA SERANGGA DIKEBUN SAYUR
Kebanyakan serangga yang ditemukan di kebun tidak
hama. Banyak menguntungkan, menggerogoti hama atau melakukan tugas-tugas lain
yang bermanfaat. Salah satu strategi yang paling penting untuk berurusan dengan
serangga adalah siklus belajar tentang kehidupan serangga, perilaku, habitat,
dan diet, dan untuk mengenali yang hama dan yang benar-benar pinjaman Anda
membantu. Kombinasi strategi mekanik dan budaya berikut ini biasanya bekerja
dengan baik untuk mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh hama serangga tanpa
merugikan serangga bermanfaat.
Tumbuh kuat, sehat tanaman.
Bukti menunjukkan bahwa tanaman menekankan lebih
mungkin akan diserang oleh serangga dan menderita kerusakan yang lebih serius.
Terlalu banyak air atau terlalu sedikit atau pupuk dapat melemahkan tanaman.
Perhatikan pada tanah Anda, menambahkan banyak bahan organik untuk membangun
struktur yang baik, hasil panen, dan kapasitas air memegang. PH tanah Pastikan
Anda berada dalam jangkauan yang tanaman Anda butuhkan. Tambahkan kapur atau
belerang jika perlu disesuaikan. Tipis tanaman untuk jarak yang
direkomendasikan dan menjaga gulma di cek untuk mengurangi persaingan antara
tanaman.
1.
Rotasi tanaman.
Penanaman tanaman yang sama di tempat yang sama tahun demi tahun dapat
menyebabkan populasi hama tumbuh, terutama populasi serangga tanah tinggal
seperti belatung, wireworms, dan belatung. Jika menanam sebuah taman dimana
tumbuh rumput tahun sebelumnya, tidak tumbuh tanaman rentan terhadap ulat atau
wireworms.
2.
Pilih varietas hati-hati.
Direkomendasikan untuk varietas Pilih wilayah Anda dan mencari varietas
yang tahan terhadap hama yang mungkin Anda alami. Sebagai contoh, labu
butternut squash tahan terhadap hama penggerek pohon anggur.
3.
Praktek sanitasi yang baik.
Banyak hama menahan musim dingin pada gulma atau sisa-sisa tanaman di
dalam atau di dekat taman. Hapus gulma dan mulsa organik, yang dapat
menyediakan rumah bagi serangga, siput, dan siput.
4.
Periksa transplantasi.
Hindari tanaman yang penuh dengan nyamuk membawa ke kebun Anda.
Hati-hati memeriksa transplantasi sebelum Anda membelinya.
5.
Waktu penanaman.
Kadang-kadang suatu penanaman lebih awal atau lambat akan kurang rentan
terhadap hama serangga tertentu.
6.
Perapian hama
Drop mereka ke dalam air sabun untuk membunuh mereka.
7.
Gunakan hambatan.
Untuk mencegah kerusakan cutworm, tanaman transplantasi dalam kerah
yang terbuat dari karton, kertas atap, atau cangkir pakai dengan pantat mereka
dihapus. Kerah harus sekitar 4 inci dan 2 inci dikuburkan ke dalam tanah.
Kuadrat tarpaper karpet atau ditempatkan dengan aman di sekitar tanaman
keluarga muda kubis kubis dapat mencegah belatung lalat bertelur di dasar
tanaman.
8.
Gunakan baris penutup.
Floating baris mencakup memungkinkan cahaya udara, dan air melalui
tanaman, tapi tidak hama. Tempat meliputi lebih dari tanaman muda sampai mereka
cukup besar untuk menangkis hama sendiri, atau sampai hama tidak lagi di
sekitar. (Anchor mereka aman dengan tanah, kayu, pin penahan khusus, atau cara
lain agar hama tidak dapat menyelinap masuk) Hapus mencakup sekitar 4 sampai 6
minggu ke musim sebelum suhu di balik selimut terlalu panas untuk tanaman.
Tanaman seperti mentimun, terung, melon, dan labu perlu untuk mengatur
penyerbukan serangga buah, sehingga menghapus baris mencakup sebelum tanaman
mulai bunga. Komersial mencakup terbuat dari poliester atau sintetik berputar
lainnya dan dapat digunakan kembali. Anda juga dapat menggunakan kain katun
tipis.
9.
Mulsa dengan aluminium foil.
Hal ini dapat mengusir kutu daun, thrips, dan serangga lainnya. Ini
mahal, bagaimanapun, dan praktis hanya pada skala yang sangat kecil.
10. Gunakan perangkap kuning lengket.
Ini adalah cara yang baik untuk memonitor populasi serangga. Mereka
jarang cukup untuk memberikan kendali, tetapi mereka membantu menjaga populasi
whitefly rendah selama sebagai bahan lengket diganti ketika serangga menutupi
permukaan papan.
11. Memanfaatkan musuh alami.
Belajar mengenali dan melestarikan serangga yang memangsa atau
parasitize hama. tawon kecil, misalnya, parasitize afid, meninggalkan emas
membengkak untuk perunggu "mumi." Belum Menghasilkan wanita kumbang
dan lacewings, yang tampak seperti aligator kecil, juga kebun sering. Lainnya
"beneficials" mencakup laba-laba, tungau predator, serangga predator,
pemangsa lalat, dan kumbang tanah. Perkenalkan predator, parasit, atau penyakit
yang membunuh hama menjadi lebih praktis seperti yang kita mempelajari lebih
lanjut tentang pengelolaan hama. Ingat, bagaimanapun, bahwa serangga
menguntungkan akan pindah tempat jika ada hama tidak cukup untuk makan. Juga
perlu diingat bahwa kebanyakan pestisida tidak membedakan antara yang
bermanfaat dan hama serangga.
Jika semuanya gagal, pertimbangkan pestisida.
Jika strategi mekanik dan budaya tidak bekerja,
pestisida dapat juga digunakan sebagai bagian dari program manajemen hama.
Pastikan untuk hanya menggunakan jumlah yang Anda butuhkan dan hanya
memperlakukan tanaman yang perlu mengobati. Spot perawatan efektif dan dapat praktis
untuk tukang kebun di rumah.
Catatan:
Bahkan jika suatu pestisida botani di asal, mungkin
beracun. Beberapa insektisida nabati lebih beracun dari beberapa insektisida
sintetis yang umum tersedia. biopesticides mikroba seperti Bacillus
thuringiensis (Bt), toksin yang diproduksi oleh bakteri yang membunuh ulat,
adalah alternatif untuk beberapa pestisida kimia. insektisidal sabun dan minyak
hortikultura adalah biopesticides lain yang mungkin berguna bagi hama tertentu,
terutama kutu daun. diatome bumi, sebuah pengering, kadang-kadang digunakan
untuk mengendalikan serangga, siput, dan siput. Setelah itu menjadi basah dan
dipadatkan, bagaimanapun, kehilangan efektivitasnya. Sebelum menggunakan
pestisida apapun, periksa label. Kedua tanaman yang ingin Anda memperlakukan
dan merawat hama Anda untuk harus terdaftar pada label. Jika tidak, tidak
menggunakan pestisida. Ikuti semua petunjuk label dengan hati-hati. Tidak
peduli metode yang Anda pilih, menyimpan catatan dari apa yang Anda lakukan dan
apakah berhasil. Catatan tersebut haruslah merupakan bantuan besar di masa
depan ketika Anda dihadapkan dengan keputusan manajemen hama serupa.
DAFTAR PUSTAKA
Adisoemarto, S. 1993a. Upaya
peningkatan pemanfaatan lebah madu di Indonesia: telaah terhadap status dan
masalahnya. Berita Entomologi 3 (1): 53-64.
Adisoemarto, S. 1993b.
Serangga penyerbuk. Seminar Sehari mengenai Serangga Penyerbuk. Perhimpunan
Entomologi Indonesia Cabang Purwokerto, September 1993.
Adisoemarto, S. 1999. Di
tangan Kusnoto lilin itu menyala. In S. Sastrapradja (Ed. 1999): Bunga-bunga
pun bermekaran: 3-10
Adisoemarto, S., S.
Sosromarsono & M. Suhardjan. 1997. Asas pengelolaan serangga secara
berkerlanjutan. Antisipasi pengembangan entomologi sampai 2010. Makalah Utama
disampaikan dalam Simposium Entomologi. Bandung, Juni 1997.
Dammerman, K.W. 1948. The
fauna of Krakatau. 1883-1933. Verhandelingen der Koninklijke Nederlandse
Akademie van Wetenschappen. Afd. Natuurkunde. Tweede Sectie, Deel XLIV. NV.
Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij.
Diaz, R.M. 2005. American
Indians signs and symbols.
http://www.collectorsguide.com/fa/
fa095.shtml.
Lieftinck, M.A. & A.C.V.
van Bemmel. 1945. The development of the Zoological Museum at Bogor. In P.
Honig & F. Verdoorn. Science and scientists in the Netherlands Indies .
Board for the Netherlands Indies, Surinam and Curacao, New
York/Natuurweten-schappelijkTijdschrift voor Nederlandsch Indie t r r t r
, Vol. 102, Special Supplement: 226-231.
Sadjad, S., S. Adisoemarto
& M.A. Rifai (Eds.). 1978. The brown planthopper (Nilaparvata lugens StŒl).
Proc. Symp. Brown Planthopper. Third Inter-Congress of Pacific Science
Associaion. Special Publication. LIPI. Jakarta, August 1978.
Sastrodihardjo, S., R.C.H.
Soesilohadi, Purwaningsih & R.E. Putra. 2001. Ruang lingkup dan
perkembangan biologi penyerbukan, ulasan tentang serangga penyerbuk. Simposium
keanekaragman hayati artopoda pada sistem produksi pertanian. Cipayung, 16-18
Oktober 2000: 25-32.
Scott, D.C. 2004. Khephri.
Return to the God. Website by David C. Scott of Intercity Oz., Inc.
Sheedy, K. 2005. The Coinage
of Ephesus. Australian Centre for Ancient Numismatic Studies. MacQuarie
University. 2005.
Snapper, I. 1945. Medical
contributions from the Netherlands Indies. Science and Scientists in the
Netherlands Indies. NatuurwetenschappelijkTijdschrift voor Nederlandsch Indi‘.
Vol. 102-Special Supplement: 309-320.
Soetardi, R.G. 1950. De
betekenis van insecten bij de bestuiving van Theobroma cacao L. Arch.
Koffiecult. 17: 1-31.
Soetardi, R.G. 1958.
Penjelidikan mengenai penggerek polong Crotalaria juncea di Djakarta. Contr.
Gen. Agric. Res. Sta. Bogor 152, 101 pp.
Suhardjono, Y.R., Adianto
& S. Adisoemarto. 2001. Simposium keanekaragman hayati artopoda pada sisem
poduksi pertanian. Cipayung, 16-18 Oktober 2000: 9-24.
Wallace, A.R. 1890. The Malay
Archipellago. Periplus (HK) Ltd