Latar
Belakang
Pertumbuhan populasi manusia dan
peningkatan kebutuhan lahan untuk memenuhi berbagai aktivitas pembangunan telah
dan akan banyak mengurangi luas hutan di masa yang akan datang. Pengurangan
luas hutan sampai saat ini masih berarti sebagai suatu kerusakan hutan
akibat eksploitasi terhadap sumberdaya alam tersebut yang kurang
memperhatikan azas kelestarian, disamping akibat kebakaran hutan dan juga
sebab-sebab lain di dalam pengelolaan hutan. Hingga awal PELITA VI, luas lahan
yang tidak produktif di Indonesia telah mencapai lebih kurang 33,9 juta ha, dan
sebagian besar dapat dikategorikan sebagai lahan kritis. Kerusakan hutan akibat
berbagai sebab seringkali menyisakan lahan-lahan yang tidak produktif seperti
padang alang-alang, semak belukar dan lahan-lahan terbuka tanpa penutupan
vegetasi. Lahan-lahan yang tidak produktif ini kemungkinan besar dapat berubah
menjadi lahan kritis, yang terutama diakibatkan oleh kejadian erosi tanah (SUDARMADJI, 1995). Sebagai antisipasi
meluasnya lahan kritis, maka perlu dilakukan upaya – upaya penanggulangan
melalui upaya rehabilitasi lahan.
Salah satu pendekatan di dalam upaya
rehabilitasi lahan adalah penerapan metoda vegetatif yang dapat dilaksanakan
dengan penggunaan mulsa. Mulsa adalah sisa-sisa tanaman atau materi lainnya
yang diperoleh dari alam atau buatan sebagai penutup tanah dengan tujuan
tertentu. Penggunaan mulsa untuk rehabilitasi lahan sangat penting untuk
diteliti (KARTASAPOETRA, 1987),
mengingat ketersediaannya yang relatif melimpah, biaya yang tidak terlalu mahal
serta teknologinya yang relatif sederhana; sehingga memberikan peluang besar
keterlaksanaannya secara praktis di lapangan oleh siapapun yang berminat.
Pertimbangan keuntungan yang akan diperoleh adalah disamping diharapkan dapat
mengendalikan dan mencegah erosi sekaligus juga dapat memperbaiki lahan-lahan
yang telah mengalami kerusakan.
Klasifikasi
tanah memiliki berbagai versi. Terdapat kesulitan teknis dalam melakukan
klasifikasi untuk tanah karena banyak hal yang memengaruhi pembentukan tanah.
Selain itu, tanah adalah benda yang dinamis sehingga selalu mengalami proses
perubahan. Tanah terbentuk dari batuan yang
aus/lapuk akibat terpapar oleh dinamika di lapisan bawah atmosfer, seperti
dinamika iklim, topografi/geografi,
dan aktivitas organisme biologi.
Intensitas dan selang waktu dari berbagai faktor ini juga berakibat pada
variasi tampilan tanah.
Dalam
melakukan klasifikasi tanah para ahli pertama kali melakukannya berdasarkan
ciri fisika dan kimia,
serta dengan melihat lapisan-lapisan yang membentuk profil tanah.
Selanjutnya, setelah teknologi jauh berkembang para ahli juga melihat aspek batuan dasar
yang membentuk tanah serta proses pelapukan batuan
yang kemudian memberikan ciri-ciri khas tertentu pada tanah yang terbentuk.
Berdasarkan
kriteria itu, ditemukan banyak sekali jenis tanah di dunia. Untuk
memudahkannya, seringkali para ahli melakukan klasifikasi secara lokal. Untuk
Indonesia misalnya dikenal sistem klasifikasi Soepraptohardjo (1957-1961) yang masih dirujuk hingga
saat ini di Indonesia untuk kepentingan pertanian,
khususnya dalam versi yang dimodifikasi oleh Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimatologi(Puslittanak) pada tahun 1978 dan
1982.
Pada
tahun 1975 dirilis sistem klasifikasi USDA (Departemen
Pertanian AS).
Sistem ini dibuat karena sistem-sistem klasifikasi lama saling tumpang tindih
dalam penamaan akibat perbedaan kriteria. Dalam pemakaiannya, sistem USDA
memberikan kriteria yang jelas dibandingkan sistem klasifikasi lain, sehingga
sistem USDA ini biasa disertakan dalam pengklasifikasian tanah untuk
mendampingi penamaan berdasarkan sistem FAO atau
PPT (Pusat Penelitian Tanah). Kelemahan dari sistem ini, khususnya untuk negara
berkembang, adalah kriterianya yang sangat mendasarkan pada analisis laboratorium yang
rinci, sehingga para praktisi sulit untuk mendefinisikan langsung di lapangan.
Walaupun demikian, sistem USDA sangat membantu karena memakai sistem penamaan
yang konsisten.
Untuk komunikasi di antara
para ahli tanah dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengembangkan sistem klasifikasi
tanah pula sejak 1974. Pada tahun 1998 kemudian disepakati dipakainya sistem klasifikasi WRB dari World
Reference Base for Soil Resources, suatu proyek bentukan FAO, untuk
menggantikan sistem ini. Versi terbaru dari sistem WRB dirilis pada tahun 2007.
Tujuan praktikum Konservasi
dan Reklamasi Lahan ini adalah untuk mengetahui kalasifikasi tanah, sifat fisik
dan jenis erosi yang terjadi di daerah kait-kait Pelaihari.
Sifat fisik tanah adalah ciri dan karakteristik
bagian dari tubuh tanah yang dapat dilihat oleh mata secara langsung dan dirasakan oleh indra peraba tanpa alat bantu
penting.
Sifat fisik tersebut ditentukan dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor pembentuk tanah sebagai berikut.
·
Jenis bahan induk
·
Sifat dan jenis pelapukan yang membentuknya
·
Sifat dan jenis mineral penyusun tanah
·
Sifat dan aktivitas vegetasi dan organisme tanah yang tumbuh di atas tanah, atau yang berada di dalam tanah
·
Bentuk aktivitas manusia seperti pengolahan tanah, dll.
Erosi adalah peristiwa
pengikisan padatan (sedimen, tanah,
batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi angin,
air
atau es,
karakteristik hujan,
creep
pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk
hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut bio-erosi.
Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan proses
penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi maupun fisik, atau gabungan
keduanya.
Erosi
sebenarnya merupakan proses alami yang mudah dikenali, namun di kebanyakan
tempat kejadian ini diperparah oleh aktivitas manusia
dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan hutan,
kegiatan pertambangan, perkebunan
dan perladangan,
kegiatan konstruksi / pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan
pembangunan jalan.
Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman pertanian biasanya mengalami
erosi yang jauh lebih besar dari tanah dengan vegetasi
alaminya. Alih fungsi hutan menjadi ladang pertanian meningkatkan erosi, karena
struktur akar tanaman hutan yang kuat mengikat tanah digantikan dengan struktur
akar tanaman pertanian yang lebih lemah. Bagaimanapun, praktik tata guna lahan
yang maju dapat membatasi erosi, menggunakan teknik semisal terrace-building,
praktik konservasi ladang dan penanaman pohon.
Dampak
dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah
bagian atas, yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan (degradasi
lahan). Akibat lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk
meresapkan air (infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air ke dalam
lapisan tanah akan meningkatkan limpasan air permukaan yang akan mengakibatkan banjir
di sungai.
Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada akhirnya
akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya akibat tingginya
sedimentasi akan mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga akan memengaruhi
kelancaran jalur pelayaran.
Erosi
dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian yang alami, dan baik untuk ekosistem.
Misalnya, kerikil secara berkala turun ke elevasi yang lebih rendah melalui
angkutan air. erosi yang berlebih, tentunya dapat menyebabkan masalah, semisal
dalam hal sedimentasi, kerusakan ekosistem dan kehilangan air secara serentak.
Banyaknya
erosi tergantung berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk besarnya dan
intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu, begitu pula musim,
kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi termasuk tipe sedimen, tipe
batuan, porositas dan permeabilitasnya, kemiringn lahan. Faktor biologis termasuk
tutupan vegetasi lahan,makhluk yang tinggal di lahan tersebut dan tata guna
lahan ooleh manusia.
Umumnya,
dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area dengan curah hujan tinggi,
frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin atau badai tentunya lebih
terkena erosi. sedimen yang tinggi kandungan pasir atau silt, terletak pada
area dengan kemiringan yang curam, lebih mudah tererosi, begitu pula area
dengan batuan lapuk atau batuan pecah. porositas dan permeabilitas sedimen atau
batuan berdampak pada kecepatan erosi, berkaitan dengan mudah tidaknya air
meresap ke dalam tanah. Jika air bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan
yang terbentuk lebih sedikit, sehingga mengurangi erosi permukaan. SEdimen yang
mengandung banyak lempung cenderung lebih mudah bererosi daripada pasir atau
silt. Dampak sodium dalam atmosfir terhadap erodibilitas lempung juga sebaiknya
diperhatikan.
Faktor
yang paling sering berubah-ubah adalah jumlah dan tipe tutupan lahan. pada
hutan yang tak terjamah, minerla tanah dilindungi oleh lapisan humus dan
lapisan organik. kedua lapisan ini melindungi tanah dengan meredam dampak
tetesan hujan. lapisan-lapisan beserta serasah di dasar hutan bersifat porus
dan mudah menyerap air hujan. Biasanya, hanya hujan-hujan yang lebat (kadang disertai
angin ribut) saja yang akan mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam
hutan. bila Pepohonan dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat
peresapan air menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. kebakaran yang parah
dapat menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika diikuti denga hujan
lebat. dalam hal kegiatan konstruksi atau pembangunan jalan, ketika lapisan
sampah / humus dihilangkan atau dipadatkan, derajad kerentanan tanah terhadap
erosi meningkat tinggi. jalan, secara khusus memungkinkan terjadinya
peningkatan derajat erosi, karena, selain menghilangkan tutupan lahan, jalan
dapat secara signifikan mengubah pola drainase, apalagi jika sebuah embankment
dibuat untuk menyokong jalan. Jalan yang memiliki banyak batuan dan hydrologically
invisible ( dapat menangkap air secepat mungkin dari jalan, dengan meniru pola
drainase alami) memiliki peluang besar untuk tidak menyebabkan pertambahan
erosi.
Erosi
ada beberapa macam menurut proses terjadinya yaitu:
Proses
erosi yang disebabkan oleh gaya berat massa. Ketika massa bergerak dari tempat
yang tinggi ke tempat yang rendah maka terjadilah apa yang disebut dengan
pembuangan massas.
Dalam
proses terjadinya erosi, pembuangan massa memiliki peranan penting karena arus air dapat
memindahkan material ke tempat-tempat yang jauh lebih rendah. Proses pembungan
massa terjadi terus menerus baik secara perlahan maupun secara tiba-tiba
sehingga dapat menimbulkan becana tanah longsor. Lereng pegunungan yang terjal
dan mengandung tanah liat di sekitar daerah yang sudah retak-retak akan sangat
rentan terhadap erosi akibat gaya berat. Erosi
ini akan berlangsung sangat cepat sehingga dapat menimbulkan becana longsor.
Hembusan
angin kencang yang terus menerus di daerah yang tandus dapat memindahkan
partikel-partikel halus batuan di daerah tersebut membentuk suatu formasi,
misalnya bukit-bukit pasir di gurun atau pantai.
Efek
lain dari angin merupakan jika partikel keras yang terbawa dan bertumbukan
dengan benda padat lainnya sehingga menimbulkan erosi yang disebut dengan abrasi.
Pada gambar 6 dapat dilihat contoh erosi oleh angin yang menyebabkan terjadinya
bukit pasir di namibia, Afrika.
3.
Erosi oleh Air.
Jika
tingkat curah hujan berlebihan sedemikian rupa sehingga tanah tidak dapat
menyerap air hujan maka terjadilah genangan air yang mengalir kencang. Aliran
air ini sering menyebabkan terjadinya erosi yang parah karena dapat mengikis
lapisan permukaan tanah yang dilewatinya, terutama pada tanah yang gundul. Pada
gambar 6 dapat dilihat bahwa akibat erosi air yang terjadi di El Paso County, Colorado, Amerika Serikat.
Pada
dasarnya air merupakan faktor utama penyebab erosi
seperti aliran sungai yang deras. Makin cepat air yang mengalir makin cepat
benda yang dapat terkikis. Pasir halus dapat bergerak dengan kecepatan 13,5 km
perjam yang merupakan kecepatan erosi yang kritis. Air sungai dapat mengikis
tepi sungai dengan tiga cara: pertama gaya hidrolik
yang dapat memindahkan lapisan sedimen, kedua air dapat mengikis sedimen dengan
menghilangkan dan melarutkan ion dan yang ketiga pertikel dalam air membentur
batuan dasar dan mengikisnya. Air juga dapat mengikis pada tiga tempat yaitu
sisi sungai, dasar sungai dan lereng atas sungai.
Erosi juga dapat terjadi
akibat air laut. Arus dan gelombang laut termasuk pasang surut laut merupakan
faktor penyebab terjadinya erosi di pinggiran laut atau pantai. Karena tenaga
arus dan gelombang merupakan kekuatan yang dapat memindahkan batuan atau
sedimen pantai.
4.
Erosi oleh Es.
Erosi
ini terjadi akibat perpindahan partikel-partikel batuan karena aliran es yang
terjadi di pinggiran sungai. Sebenarnya es yang bergerak lebih besar tenaganya
dibandingkan dengan air. Misalnya glacier yang terjadi di daerah dingin dimana
air masuk ke pori-pori batuan dan kemudian air membeku menjadi es pada malam
hari sehingga batuan menjadi retak dan pecah, karena sifat es yang mengembang
dalam pori-pori.
Bahan
dan Alat
Bahan
Bahan
yang digunakan dalam praktikum Konservasi Tanah dan Reklamasi Lahan ini adalah
:
-
Tempat meletakkan sampel tanah (karung,
plastik, kertas)
-
Sampel tanah di lapangan
Alat
Alat
yang digunakan dalam praktikum Konservasi Tanah dan Reklamasi Lahan ini adalah
:
-
Abney level (alat untuk mengukur
kelerengan)
-
Meteran (alat untuk mengukur panjang
lereng)
-
Bor tanah (alat untuk mengambil sampel
tanah)
-
Penggaris (untuk mengukur ketebalan
topsoil)
-
Alat tulis
Waktu
dan Tempat
Praktikum
dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 22 Mei 2011 Pukul 09.00 WITA sampai
dengan selesai. Bertempat di lahan perkebunan karet dan kelapa sawit Murtadah
Baru Bati-Bati, Tanah laut KAL-SEL.
Prosedur
Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan oleh praktikan yaitu :
1. Mendengarkan
pengarahan dari dosen
2. Mengamati
keadaan lahan
3. Mencatat
hasil pengamatan.
Pengamatan
Indikator pengamatan yang dilakukan
oleh praktikan mencakup :
1. Kelerengan
2. Panjang
lereng
3. Bentuk
permukaan lereng
4. Tebal
lapisan topsoil
5. Struktur
6. Tekstur
7. Permeabilitas
/ drainase
8. Bahan
organik
9. Kerikil
permukaan
10. Vegetasi
11. Warna
Tanah
12. Bentuk
erosi
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1. Hasil
pengamatan menurut Indikator semua kelompok.
No.
|
Pengamatan
|
Kelompok
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
1
|
Kelerengan
|
9%
(5o)
|
-
|
5%
(9o)
|
-
|
9%
|
-2% (1o)
|
2
|
Panjang
Lereng
|
35
m
|
22,5
m
|
50
cm
|
-
|
50
cm
|
13
cm
|
3
|
Bentuk
Permukaan Lereng
|
Ber-
gelombang
|
Datar
Bergelombang
|
Ber-
gelombang
|
Datar
|
Cekung
|
Datar
|
4
|
Tebal
Lapisan Top Soil
|
12
cm
|
16 cm
|
11
cm
|
19
cm
|
31
cm
|
14
cm
|
5
|
Strukur
Tanah
|
Remah
|
Lempung
Berdebu
|
Balok
|
Gumpal
|
Remah
|
Remah
|
6
|
Tekstur
Tanah
|
Liat
Berdebu
|
Remah
|
Liat
Berdebu
|
Liat
|
Liat
Berdebu
|
Pasir
Liat Berdebu
|
7
|
Permeabilitas/Drainase
|
Sedang
|
Baik
(cepat)
|
Sedang
|
Cepat
|
Sedang
|
Cepat
|
8
|
Bahan
Organik
|
2%
|
Kurang
(5%)
|
1%
|
5%
|
2,5%
|
-
|
9
|
Kerikil
Permukaan
|
0%
|
10%
|
0%
|
8%
|
0%
|
15%
|
10
|
Vegetasi
|
Pohon
Karet
|
Pohon
Akasia
|
Pohon
Karet
|
Pohon
Kelapa Sawit
|
Pohon
Karet
|
Rumput
dan Semak
|
11
|
Warna
Tanah
|
-
|
Cokelat
|
Yellowish red
|
Merah
Terang
|
7,5 yr 5/10
(strong brown)
|
Cokelat
Kemerahan
|
12
|
Bentuk
Erosi
|
Parit
|
Alur
|
Alur
|
-
|
Alur
|
Percik
|
Pembahasan
Dari praktikum yang telah
dilaksanakan didapat beberapa hasil menurut pengamatan dari indikator yang
telah ditentukan, yaitu :
No.
|
Pengamatan
|
Hasil
|
1
|
Kelerengan
|
-
|
2
|
Panjang
Lereng
|
22,5
m
|
3
|
Bentuk
Permukaan Lereng
|
Datar
Bergelombang
|
4
|
Tebal
Lapisan Top Soil
|
16 cm
|
5
|
Strukur
Tanah
|
Lempung
Berdebu
|
6
|
Tekstur
Tanah
|
Remah
|
7
|
Permeabilitas/Drainase
|
Baik
(cepat)
|
8
|
Bahan
Organik
|
Kurang
(5%)
|
9
|
Kerikil
Permukaan
|
10%
|
10
|
Vegetasi
|
Pohon
Akasia
|
11
|
Warna
Tanah
|
Cokelat
|
12
|
Bentuk
Erosi
|
Alur
|
Pada praktikum ini, kelompok 2 mengamati
indikator-indikator menurut vegetasi yang berikan, yaitu vegetasi Tanaman
Karet. Pengamatan menunjukkan bahwa panjang lereng adalah 25,5 m, namun
kelerengan tidak diamati (bukan indikator pengamatan kelompok 2) pada saat
praktikum.
Dari
hasil pengamatan menurut tebal lapisan top soil, tanah ini memiliki ketebalan
sedalam 16 cm. Tanah top soil bisa juga disebut dengan tanah Horizon A, lapisan atas tanah dimana
terdapat bahan organik, humus, dan mineral-mineral yang terurai. Lapisan top
soil ini kaya akan nutrisi dan
memiliki jumlah tertinggi mikroorganisme.
Tanaman biasanya berkonsentrasi
nutrisi-extracting mereka akar di lapisan tanah atas dan mengambil sebagian
dari mereka nutrisi dari mereka. Sebagian besar aktivitas tanah bumi
terkonsentrasi dalam lapisan ini, dan mereka memberikan dukungan dan struktur tumbuh
tumbuhan, nutrisi pasokan, memfasilitasi aliran air melalui tanah dan
memungkinkan untuk secara efektif mencapai akar tanaman. Hal ini juga berfungsi sebagai penyangga
terhadap erosi tanah dan menyediakan habitat optimal untuk mikroorganisme yang menguntungkan.
Dari pengamatan menurut struktur tanah, tanah
ini memiliki struktur lempung berdebu. Struktur tanah merupakan sifat fisik
tanah yang menggambarkan susunan ruangan partikel-partikel tanah yang bergabung
satu dengan yang lain membentuk agregat dari hasil proses pedogenesis.
Struktur tanah berhubungan dengan cara
di mana, partikel pasir, debu dan liat relatif disusun satu sama lain. Di dalam
tanah dengan struktur yang baik, partikel pasir dan debu dipegang bersama pada
agregat-agregat (gumpalan kecil) oleh liat humus dan kalsium. Ruang kosong yang
besar antara agregat (makropori) membentuk sirkulasi air dan udara juga akar
tanaman untuk tumbuh ke bawah pada tanah yang lebih dalam. Sedangkan ruangan
kosong yang kecil (mikropori) memegang air untuk kebutuhan tanaman.
Kedalaman atau solum, tekstur, dan
struktur tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju
penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur
gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke
dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan
(longsor). Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan
penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi
dan sebagian besar menjadi aliran permukaan (longsor).
Dari pengamatan menurut
tekstur tanah, tanah ini memiliki tekstur remah. Struktur tanah adalah bentuk bangunan tubuh tanah, yang tersusun atas butir-butir tunggal tanah (partikel)
yang membentuk agregat atau gumpalan
tanah (ped). Susunan butir tunggal menjadi
butir-butir majemuk membentuk agregat, disebut agregasi. Bentuk-bentuk utama (primer)
struktur tanah, yakni butiran (granular),
remah (crumb), lempeng (platy), gumpal (blocky),
prisma (prismatic), dan tiang dan
silinder (columnar).
Agregasi
terjadi akibat perekatan partikel oleh koloid liat dan atau koloid organik yang
bermuatan listrik. Hal itu, terjadi karena
rantai molekul air polar yang orientasi antara partikel menjadi pendek sehingga menarik rapat partikel-partikel tanah tersebut, agar menjadi rekat membentuk agregat. Agregat hanya menjadi bentuk struktur yang mantap karena
terdapatnya zat-zat perekat tersebut. Pembentukan struktur tanah
dipengaruhi oleh jenis mineral liat, bahan organik,
kation dalam siklus basah dan kering, pengolahan tanah, oksidasi besi, dan aluminium.
Pembentukan
struktur akan mengubah pengaruh tekstur, baik
langsung maupun tidak langsung, terhadap berbagai sifat fisik tanah seperti
aerasi, permeabilitas, kemampuan menyimpan
air,
dan lain-lain.
Dari
pengamatan menurut permeabilitas tanah, tanah ini memiliki permeabilitas baik
(cepat). Permeabilitas tanah adalah
kemampuan tubuh tanah untuk mengalirkan air ke semua arah, terutama secara vertikal dari atas ke bawah dalam cm/jam. Permeabilitas
tanah secara langsung sangat
dipengaruhi oleh tekstur dan porositas tanah. Sehingga, permebilitas tanah berbanding lurus terhadap tekstur, struktur, dan porositas, terutama porositas
aerasi. Semakin kasar tekstur tanah
dan semakin gembur struktur tanah serta semakin besar jumlah pori-pori aerasi
tanah maka semakin besar
permeabilitas tanah tersebut dan semakin kecil kemampuannya menahan air. Sehingga, dalam aplikasinya, permeabilitas tanah sangat dipertimbangkan dalam budi daya pengolahan tanah. Seperti irigasi, pembajakan
atau penggemburan tanah, dan upaya-upaya konservasi tanah.
Tanah
yang
mempunyai permeabilitas cepat sangat mudah di drainage karena
mudah kehilangan dan kekurangan air. Dan,
sangat mudah mengalami dispersi agregat tanah oleh arus pergerakan air secara vertikal atau
yang disebut dengan perkolasi dalam rongga tubuh tanah. Atau oleh merembesnya air dari permukaan ke dalam tubuh tanah
atau yang disebut dengan infiltrasi. Sehingga agregat, tanah menjadi sangat mudah hancur atau terdispersi dan mudah tererosi.
Dari
hasil pengamatan Bahan organik, tanah ini memiliki bahan organik sebanyak 5%
(rendah). Bahan organik merupakan perekat butiran lepas dan
sumber utama nitrogen, fosfor dan belerang. Bahan organik cenderung mampu
meningkatkan jumlah air yang dapat ditahan di dalam tanah dan jumlah air yang
tersedia pada tanaman. Akhirnya bahan organik merupakan sumber energi bagi
jasad mikro. Tanpa bahan organik semua kegiatan biokimia akan terhenti.
Bahan organik tidak
mutlak dibutuhkan di dalam nutrisi tanaman, tetapi untuk nutrisi tanaman yang
efisien, peranannya tidak boleh ditawar lagi. Sumbangan bahan organik terhadap
pertumbuhan tanaman merupakan pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisik, kimia dan
biologis dari tanah. Mereka memiliki peranan kimia di dalam menyediakan N, P
dan S untuk tanaman peranan biologis di dalam mempengaruhi aktifitas organisme
mikroflora dan mikrofauna, serta peranan fisik di dalam memperbaiki struktur
tanah dan lainnya.
Bahan organik memainkan
beberapa peranan penting di tanah. Sebab bahan organik berasal dari tanaman
yang tertinggal, berisi unsur-unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
tanaman. Bahan organik mempengaruhi struktur tanah dan cenderung untuk menjaga
menaikkan kondisi fisik yang diinginkan. Hewan-hewan tanah tergantung pada
bahan organik untuk makanan dan mendukung kondisi fisik yang diinginkan dengan
mencampur tanah membentuk alur-alur. Sejak perang dunia ke dua, terdapat suatu
peningkatan yang besar hasil tanaman pada beberapa negara. Hasil tanaman yang
lebih besar terutama dimana hanya biji-bijian saja yang dipanen, sisa - sisa
tanamna lebih banyak dikembalikan ke lahan dan disini lebih banyak penutupan
oleh tanaman selama musim pertumbuhan.
Bahan organik berperan
penting untuk menciptakan kesuburan tanah. Peranan bahan organik bagi tanah
adalah dalam kaitannya dengan perubahan sifat-sifat tanah, yaitu sifat fisik,
biologis, dan sifat kimia tanah. Bahan organik merupakan pembentuk granulasi
dalam tanah dan sangat penting dalam pembentukan agregat tanah yang stabil.
Bahan organik adalah bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Melalui
penambahan bahan organik, tanah yang tadinya berat menjadi berstruktur remah
yang relatif lebih ringan. Pergerakan air secara vertikal atau infiltrasi dapat
diperbaiki dan tanah dapat menyerap air lebih cepat sehingga aliran permukaan
dan erosi diperkecil. Demikian pula dengan aerasi tanah yang menjadi lebih baik
karena ruang pori tanah (porositas) bertambah akibat terbentuknya agregat.
Dari
hasil pengamatan Warna tanah, tanah ini memiliki warna tanah cokelat. Warna tanah dipengaruhi kehadiran bahan organik, mineral-mineral, dan lengas air. Mineral-mineral memberi warna terang atau keabu-abuan. Bahan organik memberikan penampilan warna hitam atau gelap pada tanah. Tanah yang memiliki drainase tidak sempurna berwarna kekuningan atau kelabu kebiruan. Warna merah atau kekuningan, timbul akibat
adanya oksida besi di dalam tanah. Sehingga, warna merupakan
cerminan kondisi kimiawi dan kelengasan tanah.
Warna
tanah dapat dijadikan indikator kesuburan kimiawi tanah, tingkat perkembangan tanah dan proses pedogenesis yang dominan di dalam tubuh tanah. Warna gelap atau hitam, mengindikasikan bahwa tanah tersebut secara
kimiawi banyak mengandung bahan organik dan atau unsur-unsur
basa. Sedangkan, apabila warna antarhorizon dalam tubuh tanah mempunyai perbedaan atau kontras warna yang jelas merupakan indikasi bahwa tanah tersebut secara genesis telah berkembang. Sehingga, horizon utama tanah seperti O-A-B-C dapat diidentifikasi dan dibedakan dengan mudah. Warna pucat atau kelabu dan merah yang terdapat di dalam suatu matrik tubuh tanah secara bersamaan, baik berupa bercak
(mod*) atau
flek, mengindikasikan di dalam tubuh tanah tersebut telah terjadi proses oksidasi dan
reduksi secara bersamaan atau bergantian dalam waktu yang relatif cukup lama. Hal itu merupakan akibat adanya periode kering
dan basah di dalam tubuh tanah.
Demikian
pula warna pucat pada horizon A, mengindikasikan
proses eluviasi (pencucian) atau podsolisasi yang intensif.
Dan, warna tua baik merah atau coklat pada horizon B, mengindikasikan
proses (akumulasi) koloid hat yang banyak mengandung oksida besi
atau alumunium dan atau koloid organik yang banyak mengandung unsur karbon.
Dari hasil pengamatan menurut bentuk erosi, tanah ini
memiliki bentuk erosi alur. Erosi
adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah,
batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi angin,
air
atau es,
karakteristik hujan,
creep
pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk
hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut bio-erosi.
Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan proses
penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi maupun fisik, atau gabungan
keduanya.
Banyaknya
erosi tergantung berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk besarnya dan
intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu, begitu pula musim,
kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi termasuk tipe sedimen, tipe
batuan, porositas dan permeabilitasnya, kemiringn lahan. Faktor biologis
termasuk tutupan vegetasi lahan,makhluk yang tinggal di lahan tersebut dan tata
guna lahan oleh manusia.
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum
ini, yaitu :
1.
Tujuan praktikum Konservasi
dan Reklamasi Lahan ini adalah untuk mengetahui kalasifikasi tanah dan jenis
erosi yang terjadi di daerah kait-kait Pelaihari.
2. Sifat fisik tanah adalah ciri dan karakteristik
bagian dari tubuh tanah yang dapat dilihat oleh mata secara langsung dan dirasakan oleh indra peraba tanpa alat bantu
penting.
3. Sifat
fisik tanah meliputi struktur tanag, tekstur tanah, permeabilitas, warna tanah,
dsb.
4. Erosi adalah peristiwa
pengikisan padatan (sedimen, tanah,
batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi angin,
air
atau es,
karakteristik hujan,
creep
pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk
hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut bio-erosi.
Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan proses penghancuran
mineral batuan dengan proses kimiawi maupun fisik, atau gabungan keduanya.
5. Dari
pengamatan yang dilakukan oleh kelompok 2 menurut vegetasi tanaman Karet
memiliki erosi, yaitu erosi alur.
Hudson,
N. 1971.
Soil Conservavation. B.T. Batsford Limited. London.
Kartasapoetra. 1987.
Penggunaan mulsa untuk rehabilitasi lahan. Penertib Pustamedia
Soepraptohardjo.
1957.
Sifat-Sifat Tanah. Penerbit Universitas Indonesia.
Sudarmadji. 1995. Klasifikasi
Tanah. Penerbit
Kanisius
Zachar,
D.
1982. Soil
Erosion. Elsevier Sci. Publishing Company. Amsterdam